Tiga pusaka yang selalu dibawa kerap kali disebut tiga ujung (telu cappa’), yakni cappa lila’ (ujung lidah), cappa kawali (ujung badik), dan cappa lase’ (ujung kemaluan). Lidah adalah personifikasi dari kemampuan diplomasi, badik adalah personifikasi kemampuan bertempur, sedangkan kemaluan adalah personifikasi dari perkawinan antar bangsa. Mereka memang harus berbaur dengan semua komunitas, lalu menjelma jadi bagian komunitas itu.
Namun sejarah mencatat kalau cappa’ kawali (ujung badik) inilah yang paling banyak ditemukan. Melalui badik dan keberanian, orang Bugis berkelana ke banyak tempat, dan memenangkan berbagai pertempuran.
Mereka melawan bajak laut di Selat Malaka. Mereka melawan pasukan Trunojoyo di Jawa, mereka juga membantu Sultan Banten. Pada tahun 1722, mereka merebut tahta Johor dan menaikkan Abdul Jalil sebagai sultan.
Selanjutnya, keturunan Bugis-Makassar yang memimpin Johor selama beberapa generasi. Bahkan Selangor, yang lahir pada abad ke-18, juga dipimpin seorang lekaki Bugis bergelar Sultan Salehuddin Syah, yang merupakan saudara Raja Haji Fi Sabilillah, putra Daeng Cella’, keturunan dari Raja Luwu yang terkemuka We Tenrileleang.
Dari sekian banyak kisah-kisah pertempuran yang heroik dari orang Bugis di berbagai tempat, di manakah gerangan posisi Raja Ali Haji?
***
AZAN berkumandang dari masjid kuning itu. Saya lalu bergegas masuk ke dalam masjid untuk salat. Suasananya teduh. Di dalam masjid itu, saya menyaksikan tembok-tembok putih, yang kata beberapa orang dibangun dengan menggunakan perekat putih telur. Tak hanya itu, di dalamnya ada empat pilar yang menyangga empat kibah masjid.
“Empat pilar itu adalah simbol dari empat mazhab,” kata seorang bapak tua menjelaskan. Setelah saya membaca beberapa referensi, empat pilar yang dimaksud bermakna tangga-tangga menuju Allah, yakni syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat.
Mengingat Raja Ali Haji seorang sufi, ia melihat kehidupan sebagai proses untuk menyempurna, proses yang melalui berbagai fase, sebelum akhirnya manusia melihat sesuatu sebagai ketunggalan, sebagai titik kemenyatuan dengan semesta.
Perjalanan kehidupan adalah perjalanan untuk terus mengenali diri, mengamati setiap keping peristiwa, menarik hikmah-hikmah, lalu digunakan untuk merefleksikannya kembali dalam berbagai aktivitas. Ada proses gerak material yang kemudian diikuti gerak spiritual, lalu kembali ke gerak material untuk membangun peradaban.
Seusai salat, saya bertemu keturunan Raja Ali Haji yang telah berusia sepuh. Ia berbagi pengetahuan tentang moyangnya. Ia mengaku sebagai keturunan Luwu yang juga banyak tersebar di Pulau Penyengat. Ia mengutip pasal pertama syair gurindam dua belas:
Barang siapa tiada memegang agama,
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang ma'rifat
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah Ia dunia mudarat.
Pasal ini sungguh dalam maknanya. Ia mengingatkan pada hadis, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Semesta dalam diri hanyalah satu refleksi dari semesta yang jauh lebih agung.
Pesan Raja Ali Haji itu lebih menekankan betapa semunya realitas dunia, dan betapa abadinya realitas di alam sana. Dikarenakan dunia begitu fana, maka semua orang harusnya melakukan perjalanan spiritual, memperkaya dimensi batinnya, lalu berusaha mendekati diri-Nya. Semua orang harusnya melakukan gerak substansial demi menggapai diri-Nya.
>> Baca Selanjutnya