Budaya

Syair Lelaki Bugis di Pulau Penyengat

Dirinya mengingat pengalaman berpindah-pindah. Ia ke tanah Batavia dan bersahabat dengan orang Belanda yakni Christian van Angelbeek dan Herman von de Wall. Ia juga ke tanah Mekah dan bergru pada beberapa cendekia di sana. Persahabatannya lintas bangsa telah mengasah kepekaannya untuk keluar dari segala sesuatu yang membedakan manusia dari manusia lainnya.

Ia menulis syair sebagai senjata untuk menyatakan sikap. Ia menulis puisi, gurindam, serta pantun demi membumikan gagasannya tentang dunia yang seharusnya menjadi ruang bersama di mana semua orang bisa berbagi ilmu dan kearifan.

Ia menulis syair sufistik sebagai jalan pembebasan. Ia tak mau memilih jalan kawali (badik). Ia memilih jalan lila (lidah), yang merupakan personifikasi dari seseorang yang menggunakan kata untuk menyampaikan pesan kuat. Ia memilih jalan yang pernah dipilih Syekh Yusuf Al Makassar yang berkelana hingga tanah Afrika Selatan demi membumikan ajaran Islam, yang kemudian menginspirasi Nelson Mandela, seorang pejuang kebebasan.

Tak berhenti pada menulis syair. Ia lalu menulis buku Tuhfat al-Nafis yang berisikan pengalamannya selama berada di Batavia, yang juga berisikan sejarah dan peradaban. Ia juga menulis Silsilah Melayu dan Bugis demi mencari jati diri serta nenek moyangnya. Bukunya, Kitab Pengetahuan Bahasa yang ditulis tahun 1851 M dinyatakan sebagai dokumen resmi untuk menentukan bahasa persatuan saat Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928.

Lewat aksara-aksara yang dtuliskan itu, ia abadi. Ia bisa hidup melintasi berbagai generasi. Suaranya akan jauh lebih nyaring dan menyentuh generasi-generasi yang tak bersentuhan pemikiran dengannya.

Ia menelusuri jejak nenek moyang Bugis yang membuat syair I La Galigo yang sarat kisah tentang dinamika antara manusia dan langit. Melalui syair, ia menuliskan pandangan sufistiknya tentang kesementaraan dunia, serta betapa indahnya kehidupan jika dihiasi dengan perangai.

***

saat di makam Raja Ali Haji

“Bang, inilah kuburan Raja Ali Haji,” kata sahabat saya Alfiandri saat tiba di kompleks pemakaman. Bersama sahabat Wayu Eko Yudiatmaja, kami sengaja menelusuri jejak maestro sastra ini.

Saya merasakan ada haru yang memenuhi diri saya saat menyaksikan nisan yang ditutupi kain berwarna kuning ini. Di nisan itu tertera kalimat, Raja Ali Haji (1808-1873), pengarang Gurindam Dua Belas. Di dinding makan, terdapat marmer yang lalu dipahatkan secara lengkap naskah Gurindam Dua Belas yang pernah ditulisnya.

Ada banyak kata yang memenuh benak saya. Perjalanan hidupnya memiliki titik akhir, sementara naskah-naskah yang ditulisnya tak akan pernah berakhir. Naskah itu terus bergerak, terus menyapa semua yang membacanya, terus menjadi embun bagi kering-kerontangnya jiwa.

Naskah dan syair itu punya takdir sendiri untuk terus abadi dan membisikkan pada banyak orang tentang dunia yang sementara, dan perlunya menghiasi jiwa dengan perangai dan ahlak yang baik. Naskah dan syair itu menjadi spirit zaman yang menandai setiap fase perkembangan zaman.

Di Pulau Penyengat, saya menyimpan banyak keharuan untuk lelaki Bugis yang menulis demikian banyak syair ini. Jika saja dia masih hidup, apakah ia bahagia saat melihat manusia mengikuti jalan kebaikan yang ditulisnya? Ataukah ia kembali dicekam sedih yang lalu menginspirasinya untuk menulis berlembar-lembar syair sebagai pernyataan sikap?

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini, bermukim di Kota Bogor, Jawa Barat.