Budaya

Syair Lelaki Bugis di Pulau Penyengat

saat di Pulau Penyengat

Seingat saya, beberapa syair sufistik ditulis sebagai rintihan seorang sufi saat melihat manusia lain yang terlampau menuhankan dunia. Betapa syair-syair seperti ini menjadi pesan-pesan dan petuah yang hendak menyampaikan sesuatu yang lebih sejati.

Syair seperti ini mengingatkan saya pada kisah “manusia gua” yang digambarkan Plato. Bahwa sejumlah orang duduk dalam gua dalam keadaan terikat. Mereka hanya menyaksikan pantulan cahaya atas diri mereka di dinding gua.

Mereka mengira itulah kesejatian, hingga akhirnya seorang di antara mereka lolos dari tali itu. Ia melihat dunia luar dan matahari benderang. Saat kembali dan mengingatkan yang lain, ia lalu diabaikan. Ia dianggap berimajinasi.

Mungkinkah Raja Ali Haji membaca syair yang ditulis Mansyur Al Hallaj, sufi asal Persia, yang dieksekusi sembari berteriak “akulah kebenaran?’ Mungkinkah ia membaca syair Ibnu Arabi, sufi asal Andalusia di Spanyol, yang memperkenalkan konsep penyatuan mistis dengan Tuhan?

Di Pulau Penyengat, saya hanya bisa mereka-reka. Kisah Raja Ali Haji memang selalu memukau. Tentu saja, jelajah aksara itu bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit.

Menggunakan bahasa filsuf Paul Ricoeur, selalu saja ada dialektika antara ekspresi (expression) dengan kenyataan (reality), serta pengalaman pembuatnya (experience). Selalu saja ada pergulatan emosi, pertarungan ide, serta ikhtiar untuk menafsir berbagai keping-keping kenyataan yang berpusar di kepalanya, sebelum akhirnya menjelma sebagai kata yang menjejak hati.

Saya menangkap satu keyakinan tentang jalan sufistik yang serupa kapal phinisi telah berlayar di samudera kehidupan. Di Pulau Penyengat, perahu phinisi itu memang telah berlayar sampai jauh. Raja Ali Haji mengetahui persis tentang perang besar antara kakeknya, Raja Haji Fi Sabilillah, dengan VOC demi tegaknya kedaulatan.

Ia tahu tentang para prajurit Bugis-Makassar yang dengan sengaja menyebar ke mana-mana, menjauh dari tanah airnya, demi menyatakan sikap tak sudi di bawah ketiak Belanda, setelah Pelabuhan Sombaopu jatuh dikalahkan pasukan koalisi yang dipimpin Cornelis Speelman. Ia jelas lebih tahu dari sejarawan Anthony Reid yang pernah menuliskan bahwa perang Makassar adalah perang paling mengerikan yang pernah dihadapi VOC di tanah Nusantara.

Ia menyaksikan berbagai peperangan dan perlombaan demi meraih kejayaan itu telah menyeret konflik dan dinamika antar bangsa yang senantiasa saling mencabut badik dan memburai usus.

Di Johor, orang saling mengkudeta demi memperebutkan supremasi. Di tanah Tumasik (Singapura), ia melihat bendera East Indian Company (EIC) dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berkibar di atas kapal-kapal yang membawa hasil bumi ke tanah Eropa yang selama sekian tahun terus berkelahi demi menjadikan negaranya kaya raya dan gilang-gemilang.

Ia merefleksikan berbagai realitas yang disaksikannya di sepanjang sekujur tubuh sejarah. Ia pernah pula menyaksikan kemajuan-kemajuan. Ia mengenal banyak bangsa, menyerap saripati makna dari berbagai manusia, lalu menyusun pasal-pasal gurindam.

HALAMAN BERIKUTNYA -->

>> Baca Selanjutnya