UNHAS.TV – Di ruang rapat yang sunyi, di tengah ceramah yang kurang menggigit, atau bahkan hanya dengan melihatnya di layar kaca, ia muncul tanpa diundang: sebuah kuapan lebar yang tak terhindarkan.
Dan, alih-alih meredanya kantuk, yang terjadi kemudian adalah epidemi kecil. Seseorang menguap, dan dalam hitungan detik, beberapa orang di sekitarnya ikut membuka mulut, menarik napas dalam-dalam.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai contagious yawning atau menguap menular, bukan sekadar mitos urban. Para ilmuwan menegaskan: menguap memang bisa menular.
Perilaku ini universal, melintasi batas spesies—tak hanya manusia, simpanse, anjing, bahkan burung beo pun melakukannya. Namun, apa yang membuat gerakan otot sederhana ini begitu mudah menyebar?
Jawabannya, menurut sejumlah penelitian, terletak jauh di dalam struktur otak kita, di wilayah yang mengatur koordinasi dan empati.
Salah satu kunci utamanya adalah fenomena Eko (Echo Phenomenon). Fenomena ini merujuk pada perilaku meniru orang lain secara otomatis, tanpa sadar.
Bukan hanya menguap, perilaku meniru ini juga terjadi ketika kita tanpa sengaja mengulang ucapan seseorang—yang disebut ekolalia. Dalam konteks menguap, penularan ini erat kaitannya dengan aktivitas pada korteks motorik otak.
Korteks motorik, bagian yang bertanggung jawab mengatur gerakan, tampak menjadi 'sakelar' penularan. Penelitian menunjukkan bahwa ketika aktivitas korteks motorik meningkat, kecenderungan seseorang untuk ikut menguap juga makin tinggi.
Otak seolah-olah secara otomatis mempersiapkan otot untuk meniru gerakan yang baru saja ditangkap oleh indra visual.
Namun, yang lebih menarik, penularan menguap tidak terjadi secara acak. Riset yang dimuat dalam jurnal Frontiers in Psychology menemukan sebuah korelasi kuat antara menguap menular dengan ikatan sosial.
Hal ini mengarahkan para ahli pada kesimpulan yang lebih dalam: menguap menular adalah manifestasi dari empati sosial. Kemampuan kita untuk merasakan dan memahami keadaan emosional orang lain secara tidak sadar terwujud dalam sebuah kuapan.
Menariknya lagi, penelitian yang sama mencatat bahwa perempuan memiliki kecenderungan lebih mudah tertular menguap dibandingkan laki-laki. Walau begitu, para peneliti mengingatkan, ketidakmampuan meniru kuapan bukan serta merta berarti seseorang nihil empati.
Kuapan, Termostat Otak, dan Alarm Tubuh
Di luar faktor sosial, penelitian juga mengupas fungsi biologis dari menguap. Salah satu teori yang dikutip dari Princeton University menyebutkan korelasi antara menguap dengan suhu lingkungan.
Seseorang cenderung lebih sering menguap ketika suhu ruangan sedikit lebih rendah dari suhu di dalam tubuhnya.
Penelitian di Arizona, Amerika Serikat, menunjukkan frekuensi menguap lebih tinggi terjadi pada musim dingin ketimbang musim panas.
Argumennya: menguap berfungsi sebagai mekanisme pendingin suhu di dalam otak. Saat cuaca dingin, udara yang masuk ketika kita menguap lebih dingin, membantu menurunkan suhu otak.
Namun, kuapan juga bisa menjadi sinyal alarm. Walau umumnya disebabkan oleh rasa kantuk, kelelahan, atau "utang tidur" akibat begadang, menguap berlebihan patut dicermati sebagai indikator kesehatan yang lebih serius:
Efek Samping Obat-obatan: Beberapa obat, seperti jenis selective serotonin reuptake inhibitor, terkadang memicu menguap berlebihan.
Gangguan Tidur: Kondisi seperti sleep apnea (kesulitan bernapas saat tidur) atau narkolepsi (gangguan saraf yang menyebabkan kantuk tak terkendali) sering disertai kuapan ekstrem.
Kondisi Medis Serius: Dalam kasus yang jarang, menguap berlebihan bisa menjadi gejala awal gangguan yang lebih mengkhawatirkan, seperti serangan jantung, di mana tubuh berjuang keras karena organ jantung tiba-tiba tak mendapat aliran darah kaya oksigen.
Pada akhirnya, menguap adalah perilaku primitif—sebuah gerak universal yang menghubungkan kita, baik secara fisik maupun sosial. Kuapan adalah cerminan dari otak yang sibuk menyeimbangkan suhu internal sekaligus sebuah cermin empati di tengah kesibukan manusia modern.
Lain kali Anda menguap setelah melihat orang lain melakukannya, ingatlah: itu mungkin bukan sekadar kantuk, melainkan isyarat dari ikatan kemanusiaan yang terjalin. (*)
Ilustrasi seorang perempuan tengah menguap karena menahan kantuk. (freepick.com)








