UNHAS.TV - Di balik kelengkungan tulang belakang yang tampak sepele, ternyata skoliosis menyimpan potensi ancaman besar terhadap organ vital manusia.
Dalam sesi bincang santai bersama dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Unhas Dr. dr. Yose Waluyo, SpKFR., MS(K), di sebuah kafe di Makassar, diungkap fakta medis yang serius dari dampak skoliosis.
“Skoliosis bukan hanya soal postur yang miring. Jika tidak ditangani, ia bisa mengganggu fungsi jantung dan paru-paru,” ujar dokter Yose dalam wawancara eksklusif bersama tim Unhas TV.
Skoliosis adalah kondisi kelainan pada tulang belakang yang membuatnya melengkung ke samping seperti huruf C atau S.
Meski sebagian besar kasus bersifat ringan dan tidak membutuhkan intervensi serius, kelengkungan dengan sudut besar dapat memicu tekanan abnormal pada organ-organ dalam, khususnya organ di rongga dada.
Dokter Yose menjelaskan bahwa ketika sudut kelengkungan tulang belakang melewati angka 60 hingga 70 derajat, potensi gangguan pernapasan dan fungsi jantung meningkat drastis. Dalam kasus tertentu, bahkan kelengkungan di angka 40 derajat sudah bisa menimbulkan keluhan signifikan.
"Kadang-kadang tidak harus sampai 45 derajat sudah bisa dioperasi, misalnya ada nyeri hebat, atau sudah ganggu fungsi jantung dan paru. Walaupun umumnya di atas 60-70 derajat, tapi ada orang yang baru 40-an sudah terganggu,” jelasnya.
Skoliosis berat dapat menyebabkan perubahan bentuk dada dan mengurangi kapasitas paru-paru untuk mengembang.
Akibatnya, penderita mengalami sesak napas, cepat lelah saat aktivitas ringan, hingga risiko infeksi saluran pernapasan berulang. Pada kondisi ekstrem, gangguan ini bahkan dapat memperburuk fungsi jantung.
Sebuah studi yang dipublikasikan di European Spine Journal (2019) mendukung pernyataan tentang gangguan-gangguan dari dampak skoliosis tersebut.
Penelitian itu menunjukkan bahwa pasien dengan skoliosis toraks yang parah memiliki volume paru yang menurun secara signifikan dan menunjukkan indikasi tekanan pada jantung kanan akibat perubahan bentuk rongga dada.
“Kalau sudah berdampak ke organ vital, biasanya kami rujuk untuk operasi atau perawatan intensif,” lanjut pengurus pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik & Rehabilitasi Indonesia (Perdosri) ini.
Terapi fisik dan penggunaan brace atau alat penyangga tubuh menjadi langkah awal bagi pasien skoliosis ringan hingga sedang. Namun, intervensi lebih lanjut seperti operasi fusi tulang belakang biasanya dipertimbangkan jika gejala makin berat atau terjadi penurunan fungsi organ.
Lebih dari sekadar isu ortopedi, skoliosis adalah masalah kesehatan multidisipliner. Studi dari Journal of Pediatric Orthopaedics (2021) mencatat bahwa skoliosis idiopatik pada remaja memiliki efek psikologis yang signifikan, seperti rendah diri dan kecemasan, akibat perubahan bentuk tubuh yang tidak proporsional.
Dr. Yose mengingatkan pentingnya skrining dini, terutama pada masa pertumbuhan. “Biasanya mulai tampak saat masa pubertas. Kalau orang tua jeli, bisa cepat diketahui,” ujarnya.
Meskipun lebih sering menyerang wanita, skoliosis dapat mempengaruhi siapa saja. Pola hidup yang tidak seimbang, postur duduk buruk, hingga bawaan genetik turut menjadi faktor pemicu.
Bagi masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa, kesadaran akan postur tubuh menjadi kunci. Aktivitas belajar yang kini lebih banyak dilakukan dalam posisi duduk di depan layar harus diimbangi dengan peregangan tubuh secara berkala.
Dr. Yose menutup diskusi dengan pesan sederhana namun mendalam: “Jaga punggungmu seperti kau menjaga organ vitalmu, karena sejatinya ia adalah penopang hidupmu yang paling awal terkena dampaknya.”
Skoliosis mungkin tak langsung mematikan. Tapi jika dibiarkan, ia akan melengkungkan tidak hanya tulang belakang—melainkan kualitas hidup pengidapnya. Waspada, deteksi dini, dan penanganan tepat adalah langkah penting untuk tetap tegak, secara harfiah maupun fungsional.
(Venny Septiani Semuel / Unhas.TV)