Budaya

The Voyage to Marege dan Lupa Kita pada Laut



Phinisi yang kini hanya memutari Losari

Hari ini, mungkin phinisi itu hanya objek wisata. Ia tidak lagi membawa teripang, tidak lagi menjejak pantai Australia seperti dulu. Ia hanya mengitari dermaga, membawa wisatawan berfoto sambil menyeruput kopi susu di geladak.

Di Pantai Losari, phinisi berlayar tanpa arah, hanya untuk memuaskan estetika. Layar tetap terbentang, tapi angin tak lagi ditantang. Gelombang tak lagi dilawan.

Dulu, phinisi dikendarai untuk menaklukkan angin dan menantang samudra. Ia adalah tubuh dari keberanian, jiwa dari kecerdasan navigasi, dan simbol dari pergaulan maritim yang melintasi batas benua. Kini, ia menjadi panggung bagi konser senja dan cahaya lampu hias.

Dulu, ia menghubungkan Makassar dengan Marege’. Kini, ia hanya memutari pelabuhan yang sama setiap sore, diiringi lagu dari pengeras suara.

Kita, tampaknya, semakin menjauh dari keperkasaan yang dulu ditunjukkan para pelaut Makassar. Mereka adalah bahariwan yang menaklukkan laut bukan dengan peta, tapi dengan hafalan angin dan nyanyian langit. 

Mereka pernah mengubah batas dunia dengan perahu kayu dan kepercayaan pada laut. Dan kita kini lebih sibuk memotret bayangannya di layar ponsel.

Ironi itu pahit, tapi nyata. Kita adalah keturunan pelaut yang pernah menyambung dunia, tapi lebih suka duduk nyaman di tepi dermaga. Kita berasal dari darah ombak, tapi lebih percaya pada riak buatan. Kita pernah menjadi kisah. 

Kini, kita hanya pembaca. Kadang bahkan lupa membaca. Maka, The Voyage to Marege’ bukan hanya buku. Ia adalah peringatan. Bahwa laut itu masih ada. Tapi mungkin, kita yang perlahan menghilang.

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan Digital Strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.