Budaya

The Voyage to Marege dan Lupa Kita pada Laut




Sejarah, tampaknya, punya bias yang aneh. Ia memilih apa yang ingin ia ingat. Ia lebih menyukai catatan resmi, segel kekuasaan, laporan kolonial. Padahal di pesisir Arnhem Land, orang-orang tua di Yolngu masih mengenang wujud para pendatang itu, dengan perahu bersayap, dengan wajah legam, dengan tangan-tangan cekatan yang mengolah laut menjadi penghidupan.

Di titik ini, Macknight melakukan sesuatu yang melampaui sejarawan biasa. Ia tidak hanya menyusun kronologi; ia menulis kisah. Dalam narasinya, pelaut Makassar bukan angka statistik.

Mereka adalah manusia yang bernapas, menyusun strategi, menyeberangi laut tanpa kompas, dan menjalin relasi yang, dalam beberapa hal, lebih manusiawi daripada ekspedisi resmi kerajaan mana pun.

Ia menyebut Marege’, nama yang diberikan para pelaut itu kepada tanah yang kini disebut Australia Utara. Bukan sekadar penamaan, tapi penjinakan atas yang asing.

Saya bayangkan, di antara teriakan camar dan desau angin, ada lagu Bugis yang lirih. Mungkin nyanyian tentang kampung halaman. Mungkin doa agar angin tidak marah. Atau sekadar bunyi untuk mengusir sepi.

Di Marege’, mereka tidak menaklukkan. Mereka berdagang. Mereka menghormati penduduk asli. Dan dalam beberapa kisah, bahkan menikahi perempuan setempat. Sejarah kecil yang tak tercantum dalam buku pelajaran.

Macknight menulis dengan sabar. Ia menyusuri peta tua, mewawancarai tetua kampung, meneliti sketsa-sketsa, membaca dokumen pelabuhan. Ia bukan orang Makassar. Tapi dalam risetnya, ia menyulam jejak pelaut Makassar lebih baik dari banyak orang Indonesia sendiri.

Ia membentangkan pada kita satu irisan sejarah yang membuat garis antara ‘kita’ dan ‘mereka’ tampak rapuh. Mungkin laut memang tidak pernah memisahkan. Ia hanya menunggu untuk dilintasi.

Yang paling menyentuh dari buku ini bukan deretan data, tapi kesadaran. Bahwa sejarah maritim kita tak hanya milik kerajaan besar, peta VOC, atau pelabuhan-pelabuhan resmi.

Tapi juga milik orang-orang kecil yang berlayar dari Paotere, dari Tanah Lemo, dari kampung-kampung nelayan yang namanya tak tercantum di atlas. Mereka yang dengan perahu kecil mengarungi samudra besar, dengan modal keyakinan bahwa laut bukan akhir, melainkan penghubung.

Laut, seperti juga sejarah, bisa menenggelamkan. Tapi juga bisa menyimpan. Dalam lipatan gelombang, tersimpan nama-nama yang tak disebut. Kisah yang tak dicatat. Dan The Voyage to Marege’ mencoba mengangkatnya kembali ke permukaan.


>> Baca Selanjutnya