UNHAS.TV - Di sudut Barat Daya dari Lapangan Karebosi, kota Makassar, berdirilah sebuah bangunan ikonik: Gereja Katedral Hati Yesus Yang Maha Kudus.
Tampak menara neogotiknya yang anggun, berpadu dengan arsitektur lokal, membentuk siluet sakral yang memikat secara visual. Gereja tertua ini menyimpan kisah panjang tentang iman, perjuangan, dan rekonsiliasi.
Perjalanan panjang itu dimulai pada 1892, saat Pastor Adrianus Johannes Aselbergs menjejakkan kaki di Kota Daeng—awal kehadiran Katolik sebagai warisan kolonial yang perlahan menyatu dengan ritme lokal.
Enam tahun kemudian, tepatnya 1898, peletakan batu pertama pembangunan gereja dilakukan. Arsitek Swart Bol (perwira zeni Belanda) merancang struktur awal, yang kemudian dipelopori kelanjutan oleh seorang dermawan Tionghoa, Esiser, serta pelaksana pembangunan Tio Atek.
Dibalut jendela-jendela besi dari Belanda, berdirilah sebuah bangunan sederhana dengan menara mini—20 buah kecil yang menghiasi puncak, memberi kesan megah sekaligus akrab.
Seiring bertambahnya jumlah jemaat, keteguhan dan kebutuhan akan ruang menjadi jelas. Renovasi besar pun dilakukan dan rampung pada 1940, menghadirkan satu menara utama menjulang anggun di atas pintu masuk.
Namun, kedamaian itu terguncang. Pada 9 Oktober 1943, jatuhlah bom sekutu di kawasan sekitarnya. Ledakan menghancurkan jendela belakang altar, merobohkan atap, dan menghadirkan luka fisik dan emosional bagi umat.
Meski demikian, kemurahan Peter Jehendre—seorang saudagar Belanda—menjadi titik terang. Ia menyumbangkan kaca patri baru, menambahkan warna dan harapan dalam tiap lekuk interior gereja. Jendela-warna-warni itu tetap hidup hingga kini, simbol ketahanan dan restu bagi umat.
Dari Perang ke Pelayanan
Selepas perang, Gereja Katedral tidak sekadar pulih. Ia tumbuh menjadi pusat pelayanan iman, pendidikan, dan kesehatan. Rumah Sakit Stella Maris didirikan, serta sejumlah sekolah Katolik dan komunitas suster hadir memberi layanan nyata.
Sejak 1937, statusnya naik menjadi prefektur apostolik. Hingga 24 Januari 1961 saat resmi diresmikan sebagai pusat Keuskupan Agung Makassar—bagian dari hierarki Gereja Katolik di Indonesia.
Puncak semarak imamat ditandai dengan hadirnya uskup yang bertakhta di kursi katetra: simbol otoritas spiritual yang berpusat di katedral.
Namun sejarah tak selalu ramah. Pada Minggu Palma, 28 Maret 2021, dua pelaku bom bunuh diri tergabung jaringan Ansarut Daulah—afiliasi ISIS—meledakkan diri di gerbang usai misa kedua.
Ledakan berlangsung pukul 10.30 Wita, menyebabkan 20 orang luka, termasuk petugas keamanan gereja yang gagah mencegah pelaku memasuki aula ibadah. Tidak ada korban jiwa dari jemaat, tetapi trauma dan kerusakan fisik di pagar gereja meninggalkan semburan luka emosional.
Respons umat dan masyarakat luas penuh haru: lintas agama menyuarakan solidaritas. Lilin dan doa memenuhi halaman gereja sebagai deklarasi damai. Tragedi ini tak hanya menghancurkan, tetapi menguatkan. Gereja dan masyarakat bersatu merajut ulang symbiosis toleransi.
Simbol Kebesaran dan Ruang Kemajemukan
>> Baca Selanjutnya