Budaya

Sejarah Gereja Katedral Makassar, dari Era Kolonial hingga Menjadi Simbol Iman dan Ketahanan Umat




Gereja Katedral Yang Maha Kudus Makassar. (dok unhas.tv)


Kini, di era digital dan urbanisasi, Gereja Katedral Makassar tetap digandrungi umat. Akses dari berbagai penjuru kota memudahkan jemaat, dari blogger sampai peziarah, berbondong membaur di bangku utama.

Pada Minggu besar, jumlah pengunjung bahkan bisa mencapai 1.500–2.000 orang, meski umat resmi hanya berkisar 1.000 jiwa.

Dengan kapasitas gereja lama hanya sekitar 200 kursi, pemerintah keuskupan menambahkan gedung serbaguna di belakang bangunan cagar budaya—toko ruang ibadah hingga 800 peserta.

Penataan ini digarap hati-hati, menghormati lawas tanpa mengorbankan fungsi modern. Lantai bertingkat dan pintu masa kini dipadukan dengan struktur klasik; jendela antik tetap terpajang—sebagai tali penghubung zaman.

Gaya neogotik menjadi identitas utama; namun dalam detailnya tampak ragam lokal—motif Sulawesi, ukiran kayu, corak ornamen khas daerah.

Museum kecil di halaman depan gereja menampilkan foto putih hitam, dokumen tua, dan replika arsitektural, menjadi literasi visual bagi siapa saja ingin menyelami lapisan sejarah.

Bangunan ini menceritakan pula diplomasi antara budaya. Masa kolonial, pendudukan Jepang, pergerakan nasional, hingga modernisasi dan konflik identitas berkelindan di tiap batu bata. Gereja menjadi saksi dan pelaku dalam pusaran sejarah—bukan objek statis.

Lebih dari sarana ritual, katedral ini adalah ruang publik untuk kurasi kerohanian dan toleransi. Hingga Juni 2025, lebih dari 14.860 orang dibaptis mendapati anugerah, sementara 2.567 pasangan menikah dalam kasih suci di tempat ini. Angka ini menegaskan konsistensi katedral sebagai sumber kekuatan spiritual.

“Katedral ini bukan hanya tempat ibadah, tapi simbol keteguhan iman dan harapan yang tak pernah padam,” kata Pastor Paroki, yang sejak setahun lalu memimpin jemaat.

Dalam dunia di mana fragmentasi sosial sering jadi tema utama, Gereja Katedral Makassar adalah bukti bahwa narasi sejarah dan arsitektur bisa menjadi pemersatu—menghadirkan saksi toleransi, rekonsiliasi, dan pengharapan.

Mukjizat restaurasi pascaperang dan penambahan gedung representatif pasca-renovasi menandakan bahwa makna sebuah cagar budaya adalah dinamis: lestari, relevan, dan menebarkan ruh kepemimpinan rohani, melampaui sekadar value estetis.

Bangunan ini mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya tentang kenangan, tapi juga peluang: untuk belajar, berdialog, dan melangkah bersama.

Dari zaman Portugis, Belanda, Jepang, hingga republik modern—setiap penjaga pintu gereja ini mengulangi semboyan universal: iman, kemanusiaan, dan keberagaman. (*)