Oleh: Yusran Darmawan*
DI kalangan aktivis organisasi, dia memilih jalan yang berbeda. Sahabat lain sibuk mencari jalan untuk ke Gedung Dewan atau sibuk mencari jalan pintas untuk kaya, alumnus Fakultas Sastra Unhas ini memilih pulang kampung dan setia merawat tanaman.
Dia tak tergoda dengan kemewahan ibukota dan dunia yang glamour. Dia memilih jalan sunyi yang berkarib dengan suara-suara semesta. Dia memilih untuk mewujudkan satu demi satu mimpinya yang sederhana yakni menjadi sekeping puzzle yang melestarikan semesta.
Lelaki itu, Darmawan Denassa, menerima Kalpataru di tahun 2021. Dari Borongtala, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dia mendatangi Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Dia sumringah. Dia menerima penghargaan tertinggi bagi mereka yang menyelamatkan lingkungan.
Saya mengenalnya sejak lebih sepuluh tahun silam. Kami tetangga fakultas di kampus Unhas. Dia Sastra, saya FISIP. Sering kami jumpa di koridor dan bercengkerama. Waktu itu, dia menjadi ketua himpunan mahasiswa sastra Indonesia, juga aktif di himpunan mahasiswa asal Gowa.
Di masa itu, dia suka berorganisasi. Dia suka menghadiri semua agenda-agenda diskusi di kampus. Dia pun seorang aktivis yang dahulu suka turun ke jalan demi memprotes rezim.
Saya mengenalnya sebagai figur yang murah senyum dan suka bercanda. Siapa pun yang sekilas berbincang dengannya, pasti merasakan kalau dia orang baik. Dia sangat ramah dengan siapa saja.
Tahun 2013, Ketika saya baru saja pulang dari kuliah di luar negeri, nasib kembali mempertemukan kami. Saya dan dia bersama penggiat komunitas lainnya diajak Ni Nyoman Anna, sahabat keren di Oxfam, untuk ke Kupang. Kami diajak menghadiri kegiatan yang diikuti banyak komunitas dari berbagai kota. Ikut pula banyak kawan-kawan komunitas di Makassar.
Di situlah saya melihat Darmawan Denassa yang berbeda. Dia melampaui para aktivis dan organisatoris yang ada di setiap kegiatan. Dia sudah bertransformasi menjadi figur baru yang memilih pulang kampung untuk misi-misi idealis. Dia tahu hendak melakukan apa, dengan cara apa. Dia punya visi kuat.
Dia mengelola Rumah Hijau Denassa yang menjadi wadah konservasi dan pengembangan literasi. Di sekitar rumahnya, dia mengoleksi banyak tumbuhan langka. Bahkan dia mengembalikan ekosistem hutan. Dia membangun tradisi literasi di pinggiran, bersama anak-anak sekitarnya. Dia mengumpul pustaka, lalu menggelarnya agar dibaca anak-anak.
Namun sekadar literasi saja tidak cukup. Literasi akan lebih maksimal jika berada di tengah ekosistem yang tepat. Dia tergerak untuk mengembalikan keasrian hutan, serta menghadirkan suara-suara alam secara alamiah.
>> Baca Selanjutnya