Donald Trump duduk di panggung kampanye di South Carolina pada 15 Februari 2025, senyum khasnya menghiasi wajahnya saat ia berbicara tentang kebijakan luar negeri. "Kita harus mencari solusi cepat untuk konflik ini, dan Zelensky bukanlah orang yang dapat membawa perdamaian," ujarnya di hadapan ribuan pendukung yang bersorak.
Kata-katanya, yang disambut dengan tepuk tangan meriah, memperjelas satu hal: mantan Presiden AS ini semakin condong ke arah Putin, sementara Ukraina dan Uni Eropa mulai kehilangan dukungan Amerika.
Trump dan Putin: Kesepahaman yang Mengubah Permainan?
Sikap Trump yang lebih lunak terhadap Rusia kini menjadi tajuk utama berbagai media internasional. The Australian melaporkan bahwa Trump bahkan menyebut Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebagai "diktator tanpa pemilihan."
Dalam lingkaran politik Rusia, pernyataan ini diterima sebagai isyarat bahwa Washington di bawah kepemimpinan Trump tidak akan lagi menjadi pendukung utama Kyiv.
Di Moskow, mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev merespons dengan nada optimistis. "Amerika akhirnya mulai memahami realitas baru," katanya dalam wawancara dengan The Times."Zelensky bukan mitra yang dapat diandalkan, dan perubahan dalam kepemimpinan AS akan membuka jalan bagi perdamaian."
Namun, tidak semua pihak melihat ini sebagai perkembangan positif.
Seorang diplomat Uni Eropa, yang dikutip Financial Times, memperingatkan bahwa "Jika Amerika Serikat menarik dukungannya terhadap Ukraina, maka Putin akan mendapatkan momentum strategis yang lebih besar." Dalam skenario ini, Rusia tidak hanya mempertahankan posisi militernya di Ukraina, tetapi juga memperkuat pengaruhnya di Eropa Timur.
Uni Eropa: Terisolasi dalam Konflik?
Di Berlin, Kanselir Jerman Olaf Scholz berbicara dalam konferensi pers yang dihadiri oleh media internasional. "Kami tidak akan meninggalkan Ukraina begitu saja. Jika Amerika Serikat mundur, maka Eropa harus mengisi kekosongan tersebut," tegasnya, seperti dikutip oleh Der Spiegel.
Namun, pernyataan ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Uni Eropa masih terpecah dalam menentukan strategi menghadapi agresi Rusia tanpa dukungan penuh dari Washington.
Beberapa negara Eropa kini mempertimbangkan langkah independen untuk mendukung Ukraina. Perancis dan Jerman disebut-sebut sedang dalam tahap pembicaraan mengenai peningkatan bantuan militer langsung ke Kyiv.
Namun, seperti yang dikutip oleh The Guardian, seorang pejabat tinggi Uni Eropa mengungkapkan kekhawatiran mendalam: "Eropa tidak bisa hanya menjadi pengamat dalam konflik ini. Kami harus memastikan bahwa perdamaian yang langgeng tidak ditentukan sepihak oleh AS dan Rusia."
Masa Depan Perang: Siapa yang Akan Menang?
Di Washington, di balik layar Gedung Putih, seorang pejabat senior yang menolak disebutkan namanya berbicara kepada CNN. "Trump tampaknya lebih fokus pada hubungan bilateral dengan Rusia daripada mempertahankan aliansi lama dengan Eropa. Ini bisa mengubah keseimbangan kekuatan di dunia," katanya.
Dalam pertemuan rahasia di Riyadh, seperti dilaporkan oleh El País, pejabat AS dan Rusia membahas kemungkinan penyerahan wilayah yang diduduki sebagai bagian dari kesepakatan damai. Jika ini benar, maka Trump bisa menjadi arsitek dari perjanjian damai yang kontroversial—yang lebih menguntungkan Rusia daripada Ukraina.
Seorang analis dari BBC menyebut bahwa strategi Trump dapat menciptakan "kesenjangan diplomatik" yang menguntungkan Putin, karena Eropa tidak memiliki kapasitas militer untuk sepenuhnya menggantikan peran AS di Ukraina. "Jika Rusia mendapatkan keuntungan dari perubahan kebijakan ini, kita akan melihat peta geopolitik yang benar-benar berbeda dalam beberapa tahun ke depan," tambahnya.
Dengan semua perkembangan ini, satu hal menjadi jelas: perang Rusia-Ukraina bukan hanya soal pertempuran di medan perang, tetapi juga permainan catur politik tingkat tinggi yang melibatkan kekuatan dunia. Apakah Trump akan menjadi faktor yang membawa perdamaian atau malah mempercepat kemenangan Rusia?
Jawabannya masih menjadi misteri yang hanya waktu yang bisa mengungkapnya.