Budaya
Opini

Unhas Jakarta di Perkampungan Bugis



Buku yang ditulis oleh Hendrik E Niemeijer

Mengapa namanya Petojo? Zaenuddin HM menjelaskan, ada banyak versi mengapa kawasan itu dinamakan Petojo. Ada yang meyakini Petojo berasal dari nama pemlik kawasan tersebut yakni Komandan Petuju Jongker. 

Namu, ada pula yang menyebutkan karena di daerah itu, yang kini menjadi Jl Suryopranoto, dahulu terdapat pabrik es Petojo yang merupakan paberik es terbesar di Jakarta. 

Kebanyakan orang menyatakan, Petojo berasal dari nama Arung Pattuju atau Arung Pettojo, pengikut Aru Palaka (Raja Bone) yang datang ke Batavia meminta bantuan Belanda untuk menghadapi Sultan Hasanuddin di Makassaar. 

Dalam catatan sejarawan Leonard B Andaya, orang Bugis sudah lama berkelana dan menempati kawasan pesisir Nusantara. Di Batavia, mereka mulai berdatangan dalam jumlah banyak sejak abad ke-17. Pada masa itu, Arung Pakkka datang membawa 300 pengikutnya.

Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya yang berjudul Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVIII menguraikan kronologi pembentukan perkampungan di Batavia. 

Dalam catatannya, sebanyak 6.000 orang Bugis dan Makassar menempati wilayah di luar tembok kota Batavia, Ommenlanden pada abad ke-17.Sebagian besar di antara mereka juga bekerja sebagai budak. 

Mereka yang mendatangi Ommenlanden ditempatkan oleh Pemerintah Kolonial di perkampungan tertentu. 

Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya interaksi antara etnis, di antara suku itu juga banyak yang menikah dan memiliki keturunan.Seperti datangnya etnis lain di Batavia, orang-orang Bugis dan Makassar datang karena adanya peristiwa politik dan militer tertentu.

Niemeijer mengungkapkan jika pada tahun 1663, Raja Bugis Patoudjou (kini jadi nama Kawasan Petojo), salah satu dari empat Raja Bugis tiba di Batavia 

Bersama anak buahnya.Mereka menumpang beberapa kapal kompeni. Raja Bugis ini melarikan diri ke Buton, menghindari kejaran orang Makassar yang menilai kesepakatan yang dia tandatangani dengan kompeni sebagai pengkhianatan.

Saat tiba di Batavia, orang-orang Bugis tersebut terlebih dahulu harus tinggal sementara di perkebunan kompeni. Mereka diberi sebidang lahan di sebelah barat kali Krukut untuk mereka tinggali. Sementara itu, pada 25 Oktober 1678, Kapal Tertholen membuang sauh di Teluk Batavia. Kapal itu membawa Arung Palakka yang terkenal beserta sekelompok besar orang Bugis lainnya.

Adapun untuk membiayai hidup para keluarga Bugis di pulau-pulau pertama, Raja Arung Palakka mendapat 1.000 ringgit dan sejumlah pikul padi. Untuk mencegah kecemburuan kepala Kampung Makassar maka Karaeng Bisse juga diberi 400 ringgit untuk keperluan rakyatnya.

Menurut Niemeijer, segala bentuk pemberian yang dberikan orang-orang Bugis dan Makassar bukanlah bentuk kedermawanan, melainkan investasi dalam sumber daya tentara. 

Pada masa itu terjadi pemberontakan yang dipimpin Pangeran Trunajaya dari Madura yang ketika itu hendak menggulingkan Raja Mataram. VOC akhirnya memanfaatkan orang-orang Makassar dan Bugis sebagai pasukan yang dapat menumpas pemberontakan tersebut.

Lahan yang ditempati Arung Palakka dan rakyatnya merupakan lahan pinjaman dari kompeni dan tidak diberi hak milik. Begitupun dengan sebidang lahan kompeni yang dipinjamkan kepada kelompok orang Makassar.

*** 

>> Baca Selanjutnya