Oleh: Yusran Darmawan*
DI Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, lelaki Bugis, Raja Ali Haji, menulis syair demi syair. Di pulau yang sejatinya adalah simbol cinta sebab dahulu menjadi mahar kawin dan pengikat keabadian kasih, lelaki itu menyusun kata demi kata. Ia meniatkan kata sebagai refleksi atas berbagai hikmah kehidupan yang diserapnya di berbagai tempat.
***
SUARA mengaji terdengar dari masjid di Pulau Penyengat. Saat itu, saya tengah berada di atas pompong (perahu kecil bermotor) yang membawa saya dari Tanjung Pinang ke Pulau Penyengat. Dari kejauhan, pulau itu serupa mutiara hijau yang bertahta di atas lautan biru. Terlihat jelas empat kubah masjid yang berkilau keemasan. Hati saya berdebar-debar.
Rasanya tak sabar untuk segera menyaksikan pulau yang sedemikian legendaris ini. Saya membayangkan pulau kecil ini menjadi saksi dari jatuh-bangunnya berbagai peristiwa besar yang pernah memorak-porandakan negeri, serta pernah pula membangkitkan kejayaan tentang satu masa.
Namun keinginan terbesar saya adalah menyaksikan kuburan Raja Ali Haji, seorang maestro sastra yang menjadikan kata sebagai embun yang menyejukkan hati, sekaligus sebagai pedang yang menebas pikiran mereka yang tak adil.
Saya mengenali penyair ini lewat Gurindam Dua Belas. Saya masih ingat persis kalau di buku-buku mengenai sastra, Raja Ali Haji dicatat sebagai sosok penting yang syairnya dibaca hingga Malaysia dan Singapura.
Suara mengaji masih mengalun saat saya tiba di Pulau Penyengat. Bersama sahabat Alfiandri dan Wayu, keduanya adalah pengajar di Universitas Maritim Raja Ali Haji, kami singgah mencicipi masakan khas berupa ikan laut di tengah kedai yang menjorok ke laut. Sembari melihat lautan tenang yang di kejauhan terdapat Pulau Bintan, kami bertukar pikiran tentang sosok Raja Ali Haji.
Sejarah mencatat, Raja Ali Haji dilahirkan di Selangor (Malaysia) pada tahun 1808. Akan tetapi, ada pula yang menyebutkan kalau dirinya lahir di Pulau Penyengat. Ia adalah putra Raja Ahmad, yang dikenal sebagai Engku Haji Tua. Ia adalah cucu Raja Haji Fi Sabilillah, yang merupakan saudara Raja Lumu, sultan pertama di Selangor, Raja Haji Fi Sabilillah adalah putra Daeng Cella’, prajurit Bugis asal Tanah Luwu yang datang pada abad ke-18.
Orang Bugis memang punya tradisi tentang sompe’ atau berlayar ke negeri-negeri yang jauh. Melalui sompe,’ mereka tersebar ke mana-mana, berdiaspora dengan berbagai budaya, lalu ikut membangun peradaban.
>> Baca Selanjutnya