Di Petojo, saya membayangkan mereka yang berseliweran di tanah ini di Batavia abad ke-17. Dalam catatan Niemeijer, orang-orang Bugis Makassar dahulu dikenal sebagai jagoan yang menguasai Batavia. Mereka oandai berdagang, menguasai jalur perdagangan emas, serta disegani di seluruh penjuru Batavia.
Di kalangan orang Betawi, orang Bugis Makassar juga dikenal sebagai saudagar yang dermawan. Lihat saja bagaimana Rumah Si Pitung di kawasan Marunda, yang merupakan rumah khas Bugis kepunyaan Haji Safiuddin, juragan tambak ikan. Rumah khas Bugis itu sering didatangi Si Pitung saat menghindari serdadu Belanda.
Tak jauh dari sini, terdapat Muara Angke, yang waganya dulu disebut To Angke atau orang Angke dalam bahasa Bugis. Lihat pula banyak pulau di Kepulauan Seribu yang dihuni orang Bugis.
Jika orang Bugis Makassar punya jejak emas di Batavia masa silam, bagaimana halnya di masa kini?
“Kampus ini akan jadi rumah peradaban, rumah pengetahuan, dan rumah kebudayaan.Kita ingin kampus Unhas demikian. Bagaimana pendapatmu?,” tanya seorang guru besar Unhas yang saya temui saat peresmian kampus di Jakarta.
Saya menyimak. Saya pikir tantangan perguruan tinggi kian kompleks. Ada banyak perubahan yang terjadi di luaran sana dan butuh respon cepat. Disrupsi sedang terjadi di mana-mana.
Di banyak tempat, kampus hanya jadi pabrik pencetak sarjana yang diajari teori usang dan tidak relevan, lalu abai pada pengembangan kualitas kehidupan. Malah dunia korporasi punya riset yang lebih mumpuni demi menjaga iklim inovasi serta tetap jadi pemenang di abad pengetahuan.
“Saya pikir Unhas bisa di mana saja. Bukankah gelora pantaimu, lembah gunungmu, menjadi tempat mengabdi?,” jawabku pada bapak itu.
Dia tersenyum. Saya mendengar dia menggumam “Ilmu Amal Padu Mengabdi.”
Jakarta, 14 Desember 2024
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus dari Unhas, UI, dan Ohio University. Tinggal di Bogor, Jawa Barat.