Prof dr Firdaus Hamid PhD SpMK (K)
Prof Firdaus Hamid memaparkan pidatonya berjudul "Mikrobioma, Imunologi, dan Antibiotik: Harmoni Tak Terlihat dalam Melawan Infeksi". Prof Firdaus menjelaskan imunologi infeksi dan mikrobioma merupakan dua bidang ilmu yang erat kaitannya dengan kesehatan tubuh.
Imunologi infeksi mempelajari bagaimana tubuh melawan mikroorganisme berbahaya seperti bakteri, virus dan jamur yang dapat menyebabkan penyakit. Menurut Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran Unhas ini, secara global saat ini sedang menghadapi fenomena peningkatan prevalensi penyakit inflamasi dan autoimun seperti alergi, asma dan penyakit autoimun lainnya.
Penelitian menunjukkan bahwa beragamnya mikrobiota terutama di usus, membantu menjaga keseimbangan antara respon imun dan toleransi terhadap antigen asing, yang mencegah timbulnya reaksi berlebihan seperti penyakit autoimun.
Prof Aidah Juliaty Alimuddin Baso
Prof Aidah Juliaty Alimuddin Baso menjelaskan tentang "Nutrisi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) Menuju Generasi Emas Indonesia Bebas Stunting". Dirinya menyebutkan, pada masa 1000 HPK, kebutuhan nutrisi, kasih sayang dan stimulasi harus dipenuhi.
Kondisi malnutrisi kronis dapat menyebabkan wasting dan stunting, menghambat perkembangan, menurunkan kemampuan kognitif hingga produktivitas di masa dewasa.
Kehamilan merupakan fase kritis untuk perkembangan janin, di mana nutrisi ibu penting untuk mendukung pertumbuhan janin dan mencegah komplikasi seperti kelainan bawaan, kelahiran prematur, stunting, hingga risiko penyakit kronis di masa depan.
Pertumbuhan janin dimulai dari fase embrionik hingga matang, dengan organogenesis sangat penting pada trimester pertama. Nutrisi seperti asam folat, zat besi dan protein penting untuk pembentukan organ vital.
Prof Dr dr Muhammad Fadjar Perkasa Sp.THT-KL (K)
Prof Fadjar Perkasa memberikan gambaran tentang penelitian yang dilakukan mengenai "Olfactory Training dan Cuci Hidung: Pendekatan Nonfarmakologi untuk Memperbaiki Gangguan Penghidu".
Secara umum, gangguan penghidu (gangguan indra penciuman) menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan mendeteksi bau. Kondisi hilang kemampuan mengenali bau sangat berbahaya, misalnya penderita tidak mampu mengenali zat berbahaya di sekitarnya.
Gangguan penghidu masih merupakan masalah kesehatan yang menantang karena variasi etiologik, terbatasnya pilihan penanganan yang efektif dan keberhasilan terapi bergantung pada tingkat keparahan. Olfactory training dan cuci hidung merupakan pendekatan terapi nonfarmakologis.
Olfactory training (OT) muncul sebagai strategi terapi ganggung penghidu akibat infeksi virus. Konsep OT sama dengan fisioterapi neurologis lainnya. Studi menunjukkan bahwa OT secara signifikan menghasilkan peningkatan fungsi penghidu secara objektif, pada kasus pasca infeksi virus, pasca trauma dan terkait usia.
Sementara itu, cuci hidung adalah metode pembersihan hidung yang sangat sederhana dan murah. "Ini merupakan salah satu modalitas yang digunakan untuk mengatasi keluhan gangguan penghidu pada pasien rinosinutrisitis, infeksi saluran napas atas hingga rinitis alergi," ungkap Kaprodi IK THT-BKL FK Unhas ini.
Prof Dr dr Andi Kurnia Bintang SpS (K) MKes
Prof Dr dr Andi Kurnia Bintang SpS (K) MKes pada pidato orasi ilmiahnya memberikan penjelasan tentang "Pendekatan Multi-Modal dalam Upaya Mencegah Kecacatan Akibat Stroke Iskemik".
Ia menjelaskan stroke merupakan kondisi ketika suplai darah ke otak terganggu atau berkurang. "Ini terjadi karena adanya sumbatan oleh trombus dan emboli atau pecahnya pembulu darah, akibatnya bagian otak yang disuplai oleh pembuluh darah akan mengalami kerusakan dan menimbulkan kecacatan. Stroke iskemik meliputi 80-85% dari semua kasus stroke,” jelas Dosen Departemen Neurologi Unhas ini.
Penanganan stroke secara komprehensif meliputi prevensi primer, penanganan fase hiperakut, penanganan fase akut, penanganan pasca fase akut hingga prevensi sekunder. Stroke merupakan tantangan besar yang harus menjadi prioritas bersama. Untuk mencegah kecacatan akibat stroke, diperlukan pendekatan multimodal yang terintegrasi.
"Pertama pengendalian genetik berbasis populasi, telah dirintis melalui pembuatan database pasien stroke, memulai profiling gene untuk mengindentifikasi faktor risiko genetik. Selanjutnya, pengembangan Polygenic Risk Score (PRS) untuk mengindentifikasi individu dengan resiko tinggi stroke secara akurat," kata Ketua SPI RSPTN Unhas ini.(*)