News
Sulsel
Terkini

Waspada Bencana Hidrometeorologi di Cuaca Ekstrem, BNPB Sebut Makassar, Luwu Raya, Pinrang, dan Bantaeng

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Kapusdatin) BNPB Abdul Muhari SSi MT PhD. (dok unhas tv)

MAKASSAR, UNHAS.TV - Memasuki periode cuaca ekstrem yang mulai melanda sejumlah wilayah di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana hidrometeorologi.

Bencana yang berpotensi terjadi seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor. BNPB menegaskan pentingnya kesiapsiagaan sejak dini serta penanganan pra-bencana agar dampak yang ditimbulkan dapat diminimalkan.

Dalam konferensi pers di Makassar, Kamis (6/11/2025) siang, BNPB memaparkan perubahan pola cuaca yang mulai menunjukkan tren mengkhawatirkan di berbagai daerah, termasuk di wilayah Sulawesi Selatan.

Sejumlah kawasan seperti Luwu Raya, Pinrang, Makassar, dan Bantaeng disebut sebagai daerah yang memiliki potensi tinggi terdampak bencana akibat curah hujan ekstrem dalam beberapa pekan ke depan.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Kapusdatin) BNPB Abdul Muhari SSi MT PhD mengatakan kesiapsiagaan akan bencana penting dilakukan.

Abdul Muhari mengatakan, pengalaman banjir besar yang melanda Luwu Raya dua tahun lalu seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat untuk tidak lengah menghadapi potensi serupa.

Menurutnya, tindakan sederhana seperti membersihkan aliran sungai, memperkuat tanggul alami, dan menjaga kawasan hulu dari penebangan liar harus dilakukan sebelum hujan deras tiba.

“Khusus di Sulawesi Selatan, untuk Luwu Raya kita punya pengalaman dua tahun lalu ada banjir bandang besar. Jadi ini harus hati-hati, terutama di daerah tangkapan air agar sungai bisa dibersihkan," kata Abdul Muhari.

"Untuk daerah tengah seperti Pinrang ke bawah waspadai banjir bandang dan tanah longsor, sedangkan wilayah selatan seperti Makassar dan Bantaeng juga perlu waspada banjir,” tambahnya.

Ia menjelaskan, Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa memiliki karakter cuaca yang tidak sepenuhnya dapat ditebak.

Curah hujan ekstrem bisa muncul bahkan di musim kemarau akibat gangguan pola angin dan perubahan suhu laut. Karena itu, langkah mitigasi dan adaptasi harus menjadi perhatian utama semua pihak.

“Banjir, termasuk banjir bandang, bisa terjadi kapan saja. Karena kita berada di wilayah ekuator, meskipun musim kemarau, hujan ekstrem tetap bisa datang.

"Penting memang untuk melihat prediksi cuaca, tapi yang jauh lebih penting adalah tahu apa yang harus dilakukan ketika potensi bencana itu muncul,” kata Abdul.

Banjir Paling Sering Terjadi

BNPB mencatat bahwa banjir dan banjir bandang merupakan jenis bencana yang paling sering terjadi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir.

Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, bencana tersebut kerap muncul di luar musim penghujan akibat ketidakteraturan iklim dan menurunnya daya resap tanah akibat alih fungsi lahan.

Abdul menegaskan bahwa kunci penanggulangan bencana terletak pada fase pra-bencana. Menurutnya, masyarakat tidak boleh hanya bereaksi ketika bencana sudah terjadi, tetapi harus lebih aktif berperan dalam pencegahan melalui langkah-langkah sederhana di lingkungan masing-masing.

“Nyawa dari penanggulangan bencana itu ada di fase pra-bencana. Kalau kita berinvestasi satu dolar untuk pencegahan, kita bisa menyelamatkan seratus dolar ketika bencana terjadi.

"Misalnya, kalau setiap penduduk menanam satu pohon per tahun, maka akan ada jutaan pohon yang jadi benteng alami dari bencana,” ujarnya.

Abdul menambahkan, paradigma penanganan bencana harus bergeser dari sekadar respons darurat menuju pembangunan berbasis mitigasi.

Ia mencontohkan, pemerintah daerah bisa memasukkan program penanaman pohon dan konservasi air ke dalam kebijakan pembangunan desa, sementara masyarakat bisa turut menjaga kebersihan drainase dan bantaran sungai di sekitar tempat tinggal mereka.

Selain itu, BNPB juga mendorong edukasi kebencanaan di sekolah-sekolah dan komunitas lokal agar kesadaran terhadap risiko bencana tumbuh sejak dini.

“Kalau masyarakat tahu risikonya, tahu apa yang harus dilakukan sebelum, saat, dan sesudah bencana, maka dampaknya bisa jauh lebih kecil,” ucap Abdul.

Melalui edukasi berkelanjutan dan pelibatan lintas sektor, BNPB berharap budaya siaga dan peduli lingkungan bisa menjadi bagian dari kebiasaan kolektif masyarakat.

Upaya kecil seperti menanam pohon dan membersihkan sungai diyakini mampu menjadi benteng alami yang memperkecil risiko bencana di masa depan, terutama di wilayah-wilayah rawan di Sulawesi Selatan.

“Mitigasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga masyarakat. Kalau semua bergerak bersama, maka kita bisa menghadapi musim ekstrem ini dengan lebih siap,” tutup Abdul Muhari.

(Rahmatia Ardi / A. Muhammad Syafrizal / Unhas TV)