Dua zona megathrust itu yakni Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut yang berpotensi menimbulkan gempa sekitar magnitudo 8,7 hingga 8,9.
Prof Adi Maulana menambahkan, meski pakar geologi dapat menghitung pergerakan lempeng dan lokasinya, namun kapan persisnya megathrust itu terjadi, belum bisa diketahui secara cepat.
"Gempa megathrust dapat dihitung periode ulangnya dan sudah diuji keakuratannya oleh peneliti dari seluruh dunia. Tapi, kapan persisnya terjadi, itu yang tidak bisa diketahui persis," ujarnya.
Wakil Rektor Bidang Kemitraan, Inovasi, Kewirausahaan, dan Bisnis ini mengingatkan bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia harus memahami tanda-tanda gempa dan tsunami, serta bagaimana cara bereaksi dengan tenang.
"Tidak ada bencana yang datang tanpa peringatan, kita harus tahu apa yang harus dilakukan sebelum dan sesudah gempa terjadi," katanya.
Salah satu aspek yang sangat penting dalam menghadapi tsunami adalah memperhatikan golden time, yaitu waktu kritis antara gempa terjadi dan tsunami mencapai daratan.
Golden Time adalah waktu untuk segera menyelamatkan diri, biasanya antara 15 menit hingga 30 menit setelah pengumuman peringatan mulai disebar.
Pada saat itu, masyarakat harus segera bergerak ke tempat yang lebih tinggi dan tidak menunggu lama.
Dalam upaya mitigasi, selain pembangunan infrastruktur yang tahan gempa, pemerintah dan masyarakat juga diharapkan dapat mengembangkan rencana tata ruang yang lebih aman.
Beberapa langkah mitigasi yang disarankan termasuk penataan pemukiman di daerah yang lebih tinggi, penanaman mangrove untuk menahan gelombang tsunami, serta memberikan edukasi bencana di semua tingkat pendidikan.
"Gempa bukan urusan pemerintah semata, namun tanggung jawab bersama seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan," tambah Prof Adi.
Melalui kesiapsiagaan yang tepat, Indonesia dapat mengurangi dampak dari megathrust, meskipun potensi bencana ini sangat besar. Kesiapsiagaan dimulai dari pengetahuan sejak dini dan penerapan mitigasi yang matang.(*)
Andrea Ririn (UnhasTV)