Oleh: Muhammad Nur Jabir*
Seseorang duduk di sudut ruangan. Bibirnya bergerak tanpa suara. Ia mengulang nama yang sama, berkali-kali, seolah hendak menyusun kembali sesuatu yang hilang.
Di dunia yang gaduh ini, mengingat Tuhan adalah pekerjaan yang paling sunyi.
Zikir, kata para sufi, bukan sekadar mengucapkan Asma Ilahi. Ia adalah perjalanan ke dalam diri, ke ruang-ruang yang sering kita tinggalkan. Di sana, dalam kesunyian yang nyaris abadi, kita mungkin menemukan sesuatu yang telah lama hilang: diri kita sendiri.
Tetapi diri yang mana?
Kita sering mengira bahwa diri kita adalah yang tampak di cermin—wajah yang dipoles, tubuh yang sibuk bergerak. Kita mengira diri kita ada dalam riuh suara dunia: jabatan, nama, pujian, dan angka-angka yang terus bertambah atau berkurang.
Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih rapuh, dan lebih abadi. Para sufi menyebutnya hati yang hidup.
Mereka percaya bahwa dunia modern ini penuh dengan jiwa-jiwa yang mati. Orang-orang yang bergerak tanpa benar-benar hidup. Orang-orang yang mendengar tetapi tak pernah mendengarkan. Orang-orang yang terus berbicara tetapi kehilangan makna dari setiap kata yang keluar.
Maka zikir bukan hanya sekadar mengingat Tuhan. Ia adalah upaya untuk menghidupkan hati kembali.
Zikir adalah perlawanan terhadap dunia yang gemar melupakan. Dunia yang memaksa kita untuk selalu maju ke depan, tanpa sempat bertanya: ke mana, dan untuk apa?
Para mistikus besar menulis bahwa mereka yang berzikir dengan sungguh-sungguh akan tiba pada keadaan fana’—lenyapnya ego dalam kehadiran Ilahi. Lenyapnya segala keakuan, segala ilusi tentang diri.
Tetapi bagi kebanyakan orang, lenyap adalah sesuatu yang menakutkan.
Kita hidup di zaman yang menjadikan eksistensi sebagai tujuan utama. Kita ingin dikenang, kita ingin diperhitungkan. Kita ingin nama kita tetap disebut, bahkan setelah kita pergi.
Tapi para sufi mengajarkan sebaliknya: bahwa jalan menuju Tuhan justru dimulai dari melupakan diri.
Zikir adalah latihan untuk melupakan. Bukan dalam arti kehilangan, melainkan melepaskan—melepaskan segala yang tak perlu, segala yang hanya menambah beban. Seperti daun yang rela jatuh dari dahan, agar bisa terbang mengikuti angin.
Mereka yang hidup dalam zikir, kata para sufi, akan mencapai maqam assa’ah—kehadiran Ilahi di setiap saat. Mereka tidak lagi terikat oleh waktu, tidak lagi khawatir tentang masa lalu atau cemas terhadap masa depan.
Mereka hanya ada di sini, di saat ini.
Barangkali inilah sebabnya mereka yang benar-benar mengingat Tuhan selalu tampak ringan. Wajah mereka bercahaya, seperti ada sesuatu yang menyala di dalam. Mereka diam, tetapi kita merasa mereka berkata banyak hal. Mereka tersenyum, tetapi seolah membawa keheningan yang panjang.
Kita hidup di dunia yang ramai. Dunia yang menawarkan segala hal, kecuali ketenangan.
Tetapi, bukankah dalam sunyi kita justru menemukan suara yang paling sejati?
*Penulis adalah Direktur Rumi Institute