Opini

Ekologi Transenden, Jalan Nabi Nabi Yusuf dalam Menghadapi Krisis Multidimensi

Khusnul

OlehKhusnul Yaqin*

Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk spiritual, melainkan juga kitab ekologi, yang memuat strategi keberlanjutan hidup manusia dalam harmoni dengan alam. Salah satu babak penting dalam narasi ekologi transenden Al-Qur’an adalah kisah Nabi Yusuf a.s., terutama dalam Surat Yusuf ayat 47, yang menggambarkan strategi mengatasi krisis pangan dan multikrisis lainnya secara lestari dan visioner.

Ayat 47 dari Surat Yusuf:

قَالَ تَزْرَعُونَ سَبْعَ سِنِينَ دَأَبًا فَمَا حَصَدتُّم فَذَرُوهُ فِي سُنبُلِهِ إِلَّا قَلِيلًا مِّمَّا تَأْكُلُونَ

Artinya:

“Yusuf berkata, ‘Kalian bertani selama tujuh tahun seperti biasa. Maka apa yang kalian panen, biarkanlah dalam bulir-bulirnya, kecuali sedikit untuk kalian makan.’”

Ayat ini merupakan landasan filosofis dan praktis bagi konsep ekologi transenden, yakni pendekatan ekologis yang mengakar pada ajaran kesadaran spiritual manusia sempurna, Nabi Yusuf as. 

Produksi yang Lestari, Bukan Eksploitasi

Hal pertama yang disampaikan Nabi Yusuf adalah perintah untuk bertani selama tujuh tahun secara konsisten. Ini bukan sekadar strategi pertanian, tetapi sebuah nasihat ekologis. Bertani dalam konteks ekologi transenden berarti melestarikan siklus hayati: menjaga tanah, air, dan benih agar tetap produktif dan berkesinambungan.

Produk hayati adalah produk yang dapat diperbarui secara alamiah. Ia tumbuh melalui waktu, mengalami regenerasi, dan menjawab kebutuhan hidup tanpa menghabiskan sumber daya bumi secara fatal. Inilah prinsip dasar dari keberlanjutan. Dalam konteks modern, ini berarti produksi harus berbasis pada pendekatan hayati (bio-based), bukan ekstraktif. Nabi Yusuf tidak menyuruh menambang, menggunduli, atau mengeksploitasi; beliau menyuruh untuk membudidayakan.  Dengan kata lain, Nabi Yusuf menyuruh kitavuntuk melakukan produksi tentang apa saja yang lestari atau berkelanjutan. 

Memahami Siklus Hidup Spesies

Strategi kedua yang diajarkan Nabi Yusuf adalah agar hasil panen disimpan dalam bulirnya. Di balik perintah ini terdapat kecerdasan ekologis tingkat tinggi. Menyimpan gandum dalam bulirnya adalah bentuk penghormatan terhadap siklus hidup spesies tanaman. Ia tidak dirusak bentuknya, tidak dipecah struktur biologisnya, agar tetap hidup, stabil, dan dapat dikembangkan kembali ketika dibutuhkan.

Secara ekologis, ini adalah pesan bahwa manusia sebagai produsen harus memahami siklus hidup dari setiap organisme yang dimanfaatkan. Tanpa pemahaman ini, manusia akan menjadi perusak. Dengan pemahaman ini, manusia menjadi penjaga. Maka, ekologi transenden mengajarkan bahwa produksi harus dibarengi dengan perlindungan terhadap sifat hidup suatu spesies.

Kaligrafi Surah Yusuf Ayat 47:
Kaligrafi Surah Yusuf Ayat 47:" Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun (berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu makan." Credit: My Blog-Word Press.com.


Mengonsumsi Secukupnya, Menyimpan Lebih Banyak

Ketiga, Nabi Yusuf menyarankan agar yang dikonsumsi hanya sedikit, sisanya disimpan. Ini bukan hanya strategi menghadapi musim paceklik, melainkan etika pemanfaatan sumber daya. Dalam kerangka ekologi transenden, ini adalah perintah untuk tidak serakah. Kita hanya boleh mengambil dari alam seperlunya, sementara sisanya disimpan, dijaga, dan diperkaya agar berguna di masa depan.

Konsumsilah secukupnya, tetapi berikan nilai tambah pada hasil hayati itu dengan teknologi. Inilah yang kini disebut sebagai enrichment—meningkatkan kualitas gizi dan daya guna produk tanpa perlu memperbesar volume ekstraksi dari alam. Dalam konteks ini, sedikit dari alam, tetapi banyak untuk manusia, menjadi prinsip emas. Itulah sebabnya Nabi Yusuf tidak menganjurkan eksploitasi berlebih, tetapi pengolahan cerdas atas apa yang sudah ada.

Melampaui Ekonomi, Menuju Etika

Yang diajarkan Nabi Yusuf bukan sekadar ekonomi pangan biasa, tetapi etika ekologis yang melampaui dimensi fisik—transenden. Karena bencana ekologis terbesar di dunia hari ini bukanlah kekurangan sumber daya, melainkan keserakahan dalam mengonsumsinya. Setiap banjir, krisis iklim, degradasi hutan, dan krisis air, berpangkal pada kegagalan manusia membatasi diri dan menghormati keseimbangan ekosistem.

Ekologi transenden tidak bisa hanya mengandalkan data dan kebijakan. Ia membutuhkan kesadaran transenden bahwa semua makhluk hidup—tumbuhan, hewan, manusia—adalah ciptaan Allah yang harus dihargai bukan hanya karena manfaatnya, tapi juga karena keberadaannya. Dan Nabi Yusuf adalah teladan bagaimana strategi pangan berbasis spiritualitas ini mampu menyelamatkan sebuah bangsa dari kehancuran.

Hikmah ekologi transenden

Apa yang diajarkan Nabi Yusuf lebih dari cukup menjadi landasan bagi dunia modern yang sedang menghadapi krisis multidimensi—pangan, iklim, energi, dan moralitas. Jika dunia ingin selamat, maka arahkan kembali strategi pembangunan ke basis ekologi transenden: produksi hayati yang lestari, pemahaman atas siklus hidup, pengolahan yang cerdas, konsumsi yang bijak, dan penghindaran mutlak dari kerakusan.

Itulah jalan keselamatan dari ekologi transenden. Itulah jalan Yusuf.

                                                                                   Tamalanrea, 10 April 2025

*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin