MAKASSAR, UNHAS.TV- Tahun 2025 tercatat sebagai babak baru dalam sejarah ekonomi dunia—ketika pasar bergetar, aliansi bergeser, dan peta kekuasaan finansial digambar ulang. Sepuluh peristiwa besar ekonomi politik mengguncang tatanan global dan membuka jalan menuju era ekonomi politik yang sama sekali berbeda di 2026.
1. Perang Tarif AS–Tiongkok Jilid Baru: Peta Perdagangan Diacak Ulang
Awal 2025, pemerintahan Amerika Serikat di bawah Donald Trump kembali mengerek tarif impor untuk banyak produk Tiongkok, hingga level yang ekstrem, bahkan dilaporkan mencapai tiga digit.
Beijing membalas. Tarif dibalas tarif. Non-tariff barrier ikut naik.
Perdagangan dunia terguncang. Banyak negara, termasuk Indonesia, mulai mengalihkan ekspor dan impor ke pasar alternatif di Asia, Timur Tengah, dan Afrika, demi mengurangi paparan terhadap dua raksasa yang saling berhadap-hadapan.
Bagi Indonesia, ini membuka peluang diversifikasi pasar. Tetapi juga menambah risiko: jika perang dagang berkepanjangan, permintaan global bisa melemah, harga komoditas terganggu, dan arus investasi tertahan.
2. IMF: Pertumbuhan Global Melambat, Risiko Meninggi
Laporan World Economic Outlook edisi April dan Oktober 2025 menyebut dunia sedang berada di “critical juncture”. Proyeksi IMF: pertumbuhan global turun dari sekitar 3,3% di 2024 menjadi 3,2% di 2025 dan 3,1% di 2026.
- Angkanya tampak kecil perbedaannya. Tapi di balik koma itu ada pesan keras:
- Ruang kebijakan fiskal dan moneter makin sempit.
- Utang publik banyak negara sudah tinggi.
- Guncangan baru (perang, bencana iklim, atau gejolak keuangan) bisa segera menggoyang stabilitas.
Dengan kata lain, ekonomi dunia berjalan di jalan yang sempit: tidak resesi, tetapi jauh dari aman.
3. Bank Dunia: Perdagangan Terganggu, Prospek 2025–2026 Melemah
Laporan Global Economic Prospects edisi Juni 2025 dari Bank Dunia menyebut hal serupa, dengan nada yang bahkan lebih pesimistis. World Bank mencatat kenaikan hambatan perdagangan dan ketidakpastian kebijakan sebagai faktor utama pelemahan prospek.
Pertumbuhan global 2025 diproyeksi hanya sekitar 2,3%, dengan pemulihan yang “pucat” di 2026–2027. Risiko tambahannya jelas:
- Konflik di berbagai kawasan.
- Perubahan iklim dan cuaca ekstrem.
- Ketegangan perdagangan seperti perang tarif AS–Tiongkok.
Artinya, dunia memasuki 2026 dengan fundamental yang rapuh, meski belum runtuh.
4. Fragmentasi Sistem Keuangan Global: WEF Ingatkan Risiko Rp 90.000 Triliun
Laporan World Economic Forum tentang fragmentasi sistem keuangan global memberi peringatan yang menggugah: dalam skenario terburuk, fragmentasi itu bisa mengurangi PDB global hingga 5,7 triliun dolar AS dan menaikkan inflasi global lebih dari 5%.
Fragmentasi ini muncul karena:
- Sanksi keuangan lintas blok.
- Pembentukan sistem pembayaran dan kliring baru di luar dolar.
- Penguatan blok-blok keuangan regional.
Dulu, perbedaan kurs dan bunga cukup memusingkan. Kini, arsitektur keuangan global itu sendiri terancam terbelah.
Bagi Indonesia, ini berarti satu hal: kebijakan devisa, cadangan valas, dan manajemen utang tidak boleh hanya bergantung pada satu pusat keuangan atau satu mata uang.
5. Ekspansi BRICS dan Bergabungnya Indonesia: Poros Baru Selatan Global
Salah satu peristiwa geopolitik-ekonomi terbesar bagi Indonesia terjadi pada 6 Januari 2025. Indonesia resmi bergabung sebagai anggota penuh BRICS, bersama Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, dan anggota baru lain seperti Mesir, Ethiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab.
- BRICS semakin membentuk diri sebagai poros Selatan Global, yang ingin:
- Mendorong reformasi lembaga keuangan internasional.
- Mengurangi dominasi dolar.
- Menguatkan kerja sama perdagangan dan investasi antar negara berkembang.
Bagi Indonesia, ini bukan sekadar simbol. Keanggotaan BRICS membuka jalan ke:
- Pembiayaan infrastruktur dari lembaga keuangan BRICS.
- Akses pasar baru untuk produk Indonesia.
- Posisi tawar yang lebih kuat di forum-forum global.
Namun, di sisi lain, ini juga menuntut kepiawaian diplomasi agar hubungan dengan AS, Uni Eropa, dan mitra tradisional lain tetap terjaga.
6. KTT BRICS 2025 di Rio: Ambisi Besar, Perbedaan Juga Besar
Pada KTT BRICS ke-17 di Rio de Janeiro, Juli 2025, 11 negara anggota berkumpul dengan agenda besar: memperkuat peran BRICS dalam tatanan dunia yang dinilai terlalu didominasi Barat.
Namun, laporan berbagai media internasional mencatat:
- Ada perbedaan sikap soal seberapa jauh BRICS harus “menghadang” Barat.
- Sebagian anggota ingin garis keras, sebagian memilih jalur lebih pragmatis.
Ambisi untuk menciptakan mata uang bersama atau sistem pembayaran alternatif belum menemui kata sepakat.
Pesan implisitnya: dunia multipolar bukan dunia tanpa konflik kepentingan.
Indonesia masuk ke dalam forum yang kuat tapi juga kompleks. Ini peluang dan ujian diplomasi sekaligus.
7. Gejolak Harga Energi dan Manuver OPEC+
Di sisi energi, tahun 2025 juga tak kalah dramatis. OPEC+ beberapa kali mengubah sikap: sempat menaikkan pasokan minyak meski harga sedang lemah, kemudian pada akhir tahun mengisyaratkan penghentian kenaikan produksi untuk 2026 demi menstabilkan pasar.
Perubahan sikap ini membuat harga minyak bergerak liar, memengaruhi:
- Anggaran negara importir energi.
- Inflasi di banyak negara.
- Keputusan investasi di energi fosil dan terbarukan.
Bagi Indonesia, yang kini net importir minyak namun kaya sumber energi lain, volatilitas harga ini jadi pengingat penting:
- Perlunya mempercepat transisi energi.
- Memperkuat ketahanan energi dalam negeri melalui gas, panas bumi, dan energi terbarukan.
8. Revolusi AI dan Pasar Kerja: Bukan Lagi Isu Masa Depan
Laporan World Economic Forum tentang “7 global shifts defining 2025” menyebut akselerasi kecerdasan buatan (AI) sebagai salah satu pengubah peta ekonomi dunia tahun ini.
Disusul laporan Future of Jobs 2025, WEF mencatat dua tren demografis besar:
- Populasi menua di negara maju.
- Populasi usia kerja berkembang di negara berkembang.
AI mengubah cara perusahaan mempekerjakan tenaga kerja.Sebagian pekerjaan hilang, sebagian baru muncul.Negara yang lambat beradaptasi akan melihat jurang keterampilan semakin melebar.
9. Pengangguran Global Rendah, Tapi Kualitas Kerja Dipertanyakan
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dalam laporan World Employment and Social Outlook 2025 mencatat tingkat pengangguran global berada di sekitar 5%, level yang secara historis cukup rendah.
Namun, angka itu menutupi persoalan lain:
- Pekerjaan informal masih tinggi.
- Banyak pekerja tanpa perlindungan sosial memadai.
- Upah riil di sejumlah negara tertahan oleh inflasi dan produktivitas yang timpang.
Jadi, meski banyak orang “bekerja”, tidak semua merasakan keamanan dan martabat ekonomi yang layak.
10. Laporan Risiko Global 2025: Ketimpangan dan Polarisasi Mengancam
Global Risks Report 2025 dari WEF menempatkan ketimpangan kekayaan sebagai risiko yang sangat sentral. Ketimpangan ini memicu:
- Polarisasi politik.
- Melemahnya kepercayaan warga pada institusi.
- Potensi konflik sosial yang bisa menekan pertumbuhan ekonomi.
Dengan sistem keuangan yang makin terfragmentasi dan perang tarif yang belum reda, dunia memasuki 2026 dengan modal sosial yang rapuh.
Di sinilah ekonomi dan politik benar-benar menyatu: keputusan anggaran dan pajak bisa memicu gejolak di jalanan, dan sebaliknya.
Dampak dan Peluang bagi Indonesia di 2026
Di tengah pusaran itu, di manakah posisi Indonesia?
Laporan Indonesia Economic Prospects terbaru dari Bank Dunia menyebut ekonomi Indonesia relatif tangguh, tetapi masih rentan terhadap:
- Pelemahan permintaan global.
- Gejolak harga komoditas.
- Ketidakpastian kebijakan global dan regional.
Masuknya Indonesia ke BRICS, perang tarif AS–Tiongkok, dan fragmentasi keuangan global membuat 2026 menjadi tahun yang sangat strategis bagi ekonomi-politik Indonesia.
Berikut beberapa implikasi penting:
1. Diplomasi Ekonomi: Menjaga Keseimbangan antara Barat, BRICS, dan ASEAN
Indonesia kini berada di tiga lingkaran sekaligus:
- ASEAN sebagai rumah utama.
- G20 sebagai meja besar ekonomi dunia.
- BRICS sebagai poros baru Selatan Global.
Tantangannya jelas:
- Mengambil manfaat pembiayaan dan perdagangan dari BRICS.
- Tetap menjaga hubungan baik dengan AS dan Uni Eropa.
- Memastikan ASEAN tetap menjadi jangkar stabilitas kawasan.
Diplomasi ekonomi Indonesia di 2026 harus lebih aktif, lincah, dan berlapis.
2. Strategi Perdagangan: Diversifikasi Pasar, Tingkatkan Nilai Tambah
Perang tarif AS–Tiongkok dan meningkatnya hambatan dagang global memaksa Indonesia untuk:
- Tidak bergantung pada satu atau dua pasar utama.
- Meningkatkan nilai tambah ekspor, bukan hanya menjual bahan mentah.
Hilirisasi harus diiringi:
- Peningkatan kualitas SDM.
- Kepastian regulasi.
- Infrastruktur logistik yang efisien.
Tanpa itu, Indonesia akan sulit memanfaatkan peluang dari pergeseran rantai pasok global.
3. Kedaulatan Digital dan AI: Dari Pengguna Menjadi Produsen
Ledakan AI dan digitalisasi global membuat Indonesia punya dua pilihan:
- Menjadi pasar besar bagi platform asing.
- Atau naik kelas menjadi produsen teknologi dan pusat inovasi regional.
Kebijakan 2026 perlu lebih tegas di beberapa bidang:
- Perlindungan data pribadi.
- Insentif riset dan inovasi.
- Penguatan ekosistem startup dan kolaborasi kampus-industri.
Tanpa strategi itu, kita berisiko tertinggal dalam kompetisi keterampilan dan teknologi.
4. Ketahanan Energi dan Transisi Hijau
Gejolak harga energi dan sikap OPEC+ di 2025 menunjukkan betapa rentannya negara importir minyak.
Untuk Indonesia, 2026 dapat menjadi momentum:
- Mempercepat proyek energi terbarukan.
- Mendorong kendaraan listrik dan infrastruktur pendukung.
- Mengelola sumber daya seperti nikel dengan tata kelola yang adil dan berkelanjutan.
Transisi energi bukan hanya isu lingkungan, tetapi pijakan kedaulatan ekonomi.
5. Perlindungan Sosial dan Keadilan Ekonomi
Ketimpangan global yang meningkat menjadi cermin bagi Indonesia. Pemerintah perlu:
- Memperkuat jaring pengaman sosial.
- Memastikan reformasi subsidi dan perpajakan berpihak pada kelompok rentan.
- Mengurangi kesenjangan antar wilayah.
Tanpa keadilan sosial, kebijakan ekonomi yang baik sekalipun mudah diguncang oleh krisis kepercayaan.
Menyusun Peta Indonesia di Dunia yang Berubah
Tahun 2025 menunjukkan bahwa ekonomi dunia tidak lagi berjalan di jalur lama. Perang tarif, ekspansi BRICS, fragmentasi keuangan, revolusi AI, dan gejolak energi adalah potongan mozaik dari satu gambar besar: dunia yang semakin multipolar, saling bergantung, namun juga mudah terbelah.
Bagi Indonesia, 2026 bukan sekadar tahun baru.Ini adalah ujian kedewasaan kebijakan ekonomi-politik:
- Berani mengambil posisi.
- Cermat membaca arah angin global.
- Teguh menjaga kepentingan rakyat di atas segalanya.
Jika berhasil, Indonesia tidak hanya akan menjadi penonton perubahan sejarah, tetapi turut menentukan arah putaran roda ekonomi dunia.(*)
Ilustrasi pergeseran peta ekonomi global tahun 2025, ketika kekuatan finansial dunia berubah arah dan membuka babak baru bagi ekonomi politik internasional menjelang 2026.




-300x225.webp)



