MAKASSAR, UNHAS.TV - Fenomena kemarau basah yang tengah melanda sejumlah wilayah Indonesia tidak hanya memicu gangguan pada sektor pertanian dan kesehatan, tapi juga menyimpan tantangan baru dalam mitigasi bencana serta perencanaan energi.
Di tengah ketidakpastian cuaca ini, dunia akademik, lembaga pemerintah, dan teknologi kecerdasan buatan mulai memainkan peran penting dalam menciptakan solusi adaptif. Salah satunya melalui riset prediksi cuaca yang digagas Universitas Hasanuddin (Unhas) dan edukasi literasi iklim dari BMKG.
Fenomena kemarau basah adalah kondisi ketika curah hujan tetap terjadi pada periode yang seharusnya kering (kemarau).
Dosen Geofisika Fakultas MIPA Unhas yang juga aktif dalam kajian hidrometeorologi, Andika SSi MSi menjelaskan bahwa fenomena ini sebenarnya bukan hal langka, namun perlu pemahaman dan strategi penanganan yang tepat dari masyarakat.
“Fenomena kemarau basah itu adalah fenomena yang umum terjadi, bukan hal langka. Yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat adalah beradaptasi, salah satunya dengan melek informasi cuaca dan iklim,” ujar Andika saat menjadi narasumber dalam program Unhas Speak Up di Unhas TV.
Salah satu dampak nyata dari kemarau basah adalah meningkatnya risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan longsor. Hal ini diperparah dengan kondisi tanah yang jenuh air dan kurangnya daya resap di wilayah lereng dan perkotaan.
“Banjir itu bukan semata karena banyak hujan, tapi karena kurangnya daya resap tanah. Kalau tanah terlalu jenuh, daya rekatnya berkurang dan bisa memicu longsor, terutama di daerah lereng,” tambahnya.
Di kota besar seperti Makassar, dominasi permukaan keras seperti beton dan aspal membuat air sulit meresap. Untungnya, kampus Universitas Hasanuddin masih menjadi salah satu kawasan hijau yang mampu meredam potensi banjir di wilayah sekitarnya.
Dampak lain dari kemarau basah juga menyentuh ketahanan pangan, terutama di daerah-daerah sentra pertanian. Sulawesi Selatan, sebagai penghasil utama komoditas bawang merah dari daerah Enrekang, dinilai rawan mengalami kerugian jika tidak ada adaptasi pola tanam yang sesuai kondisi iklim.
“Petani harus diberi edukasi untuk menyesuaikan komoditas yang ditanam dengan kondisi iklim. Jika tidak, mereka bisa mengalami gagal panen,” jelas Andika.
Namun, di balik tantangan, fenomena kemarau basah juga menyimpan dampak positif terutama bagi sektor energi. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) justru terbantu dengan ketersediaan air sepanjang tahun, sehingga mengurangi risiko pemadaman bergilir seperti yang kerap terjadi di masa kemarau ekstrem.
“Dengan adanya hujan yang cukup sepanjang tahun, PLTA bisa tetap bekerja optimal. Kita tidak mengalami krisis energi seperti beberapa tahun lalu saat kemarau,” jelasnya.
Untuk memprediksi fenomena seperti ini secara lebih akurat, Unhas mengembangkan pendekatan baru melalui teknologi machine learning (ML). Andika menyebut riset ini sebagai bentuk kontribusi ilmiah Unhas dalam pengembangan sistem peringatan dini berbasis data.
“Kami kembangkan matrik baru bernama RIP dan RIN. Hasil riset kami menunjukkan bahwa model prediksi dinamik jauh lebih akurat dibandingkan model statistik biasa, terutama untuk memprediksi La Nina yang menjadi salah satu penyebab kemarau basah,” ujarnya.
Mesin pembelajaran ini mampu menganalisis data historis dan membaca pola-pola indeks iklim seperti ENSO, IOD, dan MJO, yang memengaruhi pola hujan dan suhu global.
Dengan teknologi ini, petani, pemerintah, dan masyarakat dapat mengetahui prediksi cuaca beberapa bulan sebelumnya dan mengambil langkah mitigasi sejak dini.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Edukasi juga sangat krusial. BMKG sebagai lembaga negara yang menangani informasi cuaca dan iklim kini aktif melakukan program literasi iklim langsung ke masyarakat, seperti sekolah iklim untuk petani dan nelayan.
“Sayangnya, data BMKG seringkali tidak dipahami oleh petani dan nelayan karena keterbatasan literasi. Tapi kini BMKG mulai aktif turun ke lapangan, mengajarkan cara membaca data agar bisa langsung dimanfaatkan untuk pertanian dan perikanan,” ungkap Andika.
Melalui kolaborasi antara riset kampus, edukasi lapangan dari BMKG, dan kesiapsiagaan masyarakat, diharapkan Indonesia dapat menghadapi fenomena kemarau basah dan perubahan iklim lainnya secara lebih adaptif.
Masyarakat tidak hanya menjadi objek dari cuaca ekstrem, tetapi juga subjek yang tangguh melalui pemanfaatan informasi dan teknologi.
“Dengan melek informasi cuaca dan iklim, masyarakat kita bisa menjadi masyarakat yang tahan iklim,” tutup Andika dengan optimistis.
(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)