Internasional

Kilatan dari Langit Timur: Rudal Hipersonik China dan Perubahan Wajah Perang

UNHAS.TV - Langit malam di atas Pasifik tampak tenang. Namun di kejauhan, satu garis cahaya meluncur cepat dari angkasa. Ia nyaris tak terdeteksi radar, bergerak jauh lebih cepat dari suara, dan dalam hitungan menit, bisa menghancurkan pangkalan militer di daratan asing.

Inilah gambaran masa depan konflik: rudal hipersonik yang diluncurkan dari luar angkasa.

Beberapa tahun lalu, skenario itu terdengar seperti adegan film fiksi ilmiah. Kini, China telah mewujudkannya. Dunia pertama kali tersentak pada tahun 2021 ketika laporan media Barat mengungkap bahwa Beijing telah menguji sistem senjata hipersonik yang mampu mengorbit Bumi sebelum menjatuhkan hulu ledaknya ke target.

Uji coba itu menggunakan teknologi Fractional Orbital Bombardment System (FOBS), sistem senjata yang sempat dikembangkan Uni Soviet saat Perang Dingin, lalu ditinggalkan—tapi kini dihidupkan kembali oleh China dengan kecanggihan baru.

Menurut pakar militer dari King’s College London, Dr. Alessio Patalano, yang diwawancarai oleh The Economist, senjata hipersonik yang diluncurkan dari luar angkasa “tidak hanya sulit dilacak, tetapi juga membuat arah serangan tak terduga. Ini menantang seluruh sistem pertahanan rudal yang dibangun oleh negara-negara besar dalam 30 tahun terakhir.”

Senjata hipersonik berbeda dari rudal balistik antarbenua (ICBM). Ia tak hanya cepat—melampaui Mach 5 atau lima kali kecepatan suara—tetapi juga lincah, sulit diprediksi, dan mampu bermanuver dalam atmosfer. Itulah yang membuatnya nyaris mustahil dicegat oleh sistem pertahanan konvensional seperti THAAD atau Aegis.

Pemerintah China memang jarang memberikan rincian teknis. Namun dari data satelit dan analisis think tank pertahanan seperti RAND Corporation, diketahui bahwa China telah mengembangkan dua jenis utama: DF-ZF, kendaraan luncur hipersonik, dan DF-27, rudal jarak menengah yang diyakini mampu mencapai Guam dan pangkalan-pangkalan militer AS lainnya di Asia Timur.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah skenario di mana rudal ini diluncurkan dari orbit rendah Bumi, memberikan waktu reaksi yang sangat minim bagi lawan.

“Hipersonik ini bukan hanya soal senjata baru,” kata Lyle Goldstein, profesor studi strategis di Defense Priorities. “Ia adalah cara berpikir baru tentang konflik. Bukan hanya menyerang, tapi mengaburkan kapan serangan dimulai. Itu membuat doktrin tradisional seperti ‘mutually assured destruction’ menjadi usang.”

Bagi Beijing, senjata hipersonik memberi keunggulan dalam menghadapi dominasi militer AS di Indo-Pasifik. Kemampuan untuk menyerang dengan kecepatan dan presisi tinggi dari arah yang tidak terduga memberi efek psikologis: ketidakpastian total. Inilah bentuk baru dari strategic deterrence, pencegahan berbasis superioritas teknologi.

Amerika dan Rusia tentu tak tinggal diam. Pentagon kini mempercepat pengembangan rudal hipersonik, radar pelacak kecepatan tinggi, dan sistem pertahanan berbasis ruang angkasa.


>> Baca Selanjutnya