Sport

Air Mata Donnarumma dan Jeritan Jamal Musiala, Tragedi di Piala Dunia Antarklub




CEDERA. Engkel Jamal Musiala tampak bengkok tak normal saat berbenturan dengan Kiper PSG Donnarumma. (screenshot the sun/reuters)


Secara ironis, Donnarumma tetap menjadi salah satu pahlawan kemenangan PSG. Di tengah guncangan emosional, ia tetap menjaga gawangnya tetap perawan.

PSG, meski tampil dengan sembilan pemain di penghujung laga akibat dua kartu merah untuk Pacho dan Lucas Hernandez, justru Donnarumma menunjukkan sikap dengan mental juara.

Striker Desire Doue mencetak gol pembuka di menit ke-78 setelah merebut bola dari Harry Kane dan mengecoh Manuel Neuer.

Di masa tambahan waktu yang kacau dengan total injury time 11 menit, PSG menciptakan mampu momen penutup.

Sebuah serangan balik cepat dibangun oleh Achraf Hakimi, yang melewati tiga pemain sebelum memberikan bola ke Dembele.

Pemain Prancis itu yang tampil sebagai pengganti, menyelesaikannya dengan tendangan keras ke pojok atas. Skor 2-0. PSG melaju ke semifinal.

Di sisi lain, Bayern harus menelan pil pahit. Tak hanya kehilangan peluang juara. Mereka juga kehilangan Musiala dan melepas Thomas Müller yang memainkan laga terakhirnya untuk klub.

Di ruang ganti, suasana menjadi berat. Müller, pemain veteran yang telah membela Bayern sejak 2008, tampak menitikkan air mata saat memeluk satu per satu rekan satu timnya.

“Saya tak tahu harus berkata apa,” ujar pelatih Vincent Kompany setelah laga. “Kami kehilangan pemain penting dan tersingkir dari turnamen besar. Ini hari yang berat bagi kami semua.”

Laga ini juga menunjukkan betapa tipisnya garis antara keindahan permainan dan tragedi kemanusiaan. PSG boleh bersorak, tapi tak seorang pun bisa melupakan Musiala yang digotong keluar lapangan sambil menahan nyeri, atau Donnarumma yang berurai air mata meski timnya menang.

Di dunia sepak bola yang serba kompetitif dan penuh tekanan, momen seperti ini mengingatkan kita bahwa para pemain, seberbakat dan setangguh apapun, tetaplah manusia.

Dan seperti manusia pada umumnya, mereka pun bisa rapuh, bisa menangis — bahkan ketika sedang menang. (*)