Budaya
News
Opini

Antropologi Avatar, Kolonialisme, dan Cermin yang Retak




Wajah kolonialisme yang dihadirkan film ini pun sangat kontemporer. Penindas di Pandora bukan kerajaan atau negara imperialis, melainkan korporasi. Kekuasaan tidak lagi berbicara atas nama peradaban, tetapi atas nama efisiensi dan keuntungan.

Pandangan ini sejalan dengan kritik Edward Said tentang bagaimana dominasi modern bekerja melalui cara pandang yang mereduksi dunia lain menjadi objek ekonomi.

Bagi logika korporasi, Pohon Jiwa hanyalah gangguan teknis. Di sinilah Avatar menunjukkan bahwa kekerasan kolonial sering kali bermula dari kegagalan memahami makna. Bukan peluru yang datang lebih dulu, melainkan ketidakmampuan melihat dunia sebagaimana dipahami oleh Yang Lain.

Namun refleksi tidak boleh berhenti di luar layar. Titik rapuh film ini justru terletak pada jantung narasinya sendiri. Jalan cerita Jake Sully terjebak dalam paradoks representasi yang sudah lama dikritik pemikiran pascakolonial.

Film yang bermaksud mengutuk imperialisme justru menempatkan mantan marinir sebagai pusat kepahlawanan dan pembebasan. Narasi ini mengingatkan pada kritik Gayatri Chakravorty Spivak tentang bagaimana suara subaltern kerap kembali dimediasi oleh figur dari luar.

Jake menjadi perancang strategi, pemimpin, sekaligus simbol mesianik. Ini adalah pengulangan white savior complex yang dibalut kulit biru. Dalam upayanya melawan kolonialisme, Avatar tanpa sepenuhnya sadar mereproduksi struktur narasi kolonial itu sendiri.

Eywa, sebagai pusat kosmologi Pandora, menawarkan lapisan refleksi terakhir. Ia menggambarkan dunia sebagai jaringan hidup yang saling terhubung, sebuah visi ekologis yang terasa sangat menggoda di tengah krisis lingkungan global.

Namun Eywa juga menyimpan risiko romantisasi. Ia menawarkan fantasi bahwa alam, pada akhirnya, akan menyelamatkan dirinya sendiri. Fantasi ini menenangkan, tetapi berbahaya jika membuat kita lupa bahwa di dunia nyata, masyarakat adat bertahan bukan lewat mukjizat kosmis, melainkan lewat perjuangan politik yang panjang dan melelahkan.

Pada akhirnya, Avatar adalah cermin yang retak. Film ini memantulkan ketakutan kita akan kehancuran ekologis, rasa bersalah atas kolonialisme, dan kerinduan akan relasi yang lebih bermakna dengan dunia hidup.

Film ini mengutuk kolonialisme sambil tetap bergantung pada struktur narasi kolonial. Ia merayakan perbedaan budaya sambil memusatkan kepahlawanan pada sosok asing. Ia menyuarakan kritik ekologis dalam kemasan industri hiburan yang sangat boros energi.

Mungkin nilai antropologis Avatar tidak terletak pada jawabannya, melainkan pada pertanyaan yang terus ia sisakan. Dalam cahaya biru Pandora, kita dipaksa bertanya tentang posisi kita sendiri. Siapa “kita”, siapa “mereka”, dan dalam kisah kolonial planet manakah kita hari ini berdiri sebagai penonton yang diam.

Setiap perjumpaan dengan Yang Lain, seperti sejak lama diingatkan antropologi, selalu berujung pada perjumpaan dengan diri sendiri. Dan cermin itu, meski retak, kini terlalu terang untuk kita abaikan.


*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus dari Unhas, UI, dan Ohio University.