Kesehatan
News
Unhas Health

Bangkit dari Sunyi, Perjuangan Deddy Sasmita Menang dari Skizofrenia

SKIZOFRENIA. Muhammad Deddy Sasmita mengisahkan dirinya bangkit dari derita Skizofrenia dalam seminar Pusdis Unhas di Hotel Unhas, 10 Oktober 2025 lalu. (dok unhs.tv)

UNHAS.TV - Di antara riuhnya ruang konferensi di Unhas Hotel and Convention sore itu, seorang lelaki berwajah teduh berdiri di depan audiens. Senyumnya tenang, bicaranya pelan namun tegas.

Siapa sangka, di balik ketenangan Muhammad Deddy Sasmita, alumni Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin angkatan 2018 ini, pernah tersimpan badai besar dalam hidupnya. Ia bukan sekadar penyintas skizofrenia, tapi juga simbol bahwa luka batin bukan akhir dari segalanya.

“Saya dulu tidak tahu apa itu kesehatan mental,” ujarnya membuka kisah, matanya menerawang. “Yang saya tahu, saya hanya merasa hancur, kehilangan arah, dan tidak mengenali diri sendiri.”

Nama Deddy sempat dikenal luas di lingkungan Universitas Hasanuddin. Ia aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, sosial, dan kepemudaan.

Puncak prestasinya datang pada 2020, ketika ia dinobatkan sebagai Juara I Duta Generasi Berencana (Genre) Sulawesi Selatan, ajang bergengsi yang diselenggarakan BKKBN.

Dengan kemampuan berbicara yang memukau dan kepedulian pada isu remaja, Deddy menjadi sosok inspiratif di mata banyak orang.

Namun di balik citra gemilang itu, Deddy menyimpan beban yang nyaris tak tertanggungkan. Tahun 2022 menjadi titik balik kelam dalam hidupnya.

Saat tengah menyusun skripsi, ia menghadapi serangkaian penolakan yang mengguncang kepercayaan dirinya. “Ada delapan judul yang saya ajukan, semuanya ditolak,” kenangnya. “Saya kesulitan mengontrol diri, khawatir, takut, dan sempat melukai diri sendiri.”

Proses yang seharusnya menjadi penutup perjalanan akademiknya justru menyeretnya ke dalam jurang mental yang gelap. Ia mulai merasa tidak berarti, terasing dari dunia, bahkan kehilangan makna hidup.

“Saya tidak bisa menyalahkan skripsi sepenuhnya,” ucapnya lirih. “Tapi semua tekanan itu memperburuk kondisi batin saya.”

Menyusuri Lorong Sunyi

Setelah dinyatakan lulus pada September 2022, Deddy memutuskan meninggalkan Makassar dan merantau ke Yogyakarta.

Di kota pelajar itu, ia berharap menemukan ketenangan. Namun yang terjadi sebaliknya. Di tengah kesunyian kamar kos di sekitar Universitas Gadjah Mada, ia mulai kehilangan pegangan.

Di Fakultas Psikologi UGM, ia akhirnya didiagnosis menderita general insight disorder dan depresi mayor episode.

Gangguan mental itu membuatnya sulit membedakan antara realitas dan halusinasi, bahkan menimbulkan gejala psikosomatik—kondisi psikologis yang memengaruhi tubuh.

“Saya tidak bisa bertemu orang. Kepala saya seperti penuh bisikan yang tidak jelas. Saya cemas terus, sesak napas, dan bahkan takut mendengar nada dering ponsel,” tuturnya.

Ketakutannya terhadap dunia luar membuat Deddy menutup diri sepenuhnya. Ia menghapus media sosial, mematikan ponsel, dan mengurung diri dalam kamar selama berhari-hari. “Saya pernah tiga hari tidak makan, tidak keluar dari kamar, hanya duduk dalam gelap,” katanya.

Dalam keputusasaan itu, Deddy sempat mencoba mengakhiri hidupnya. “Saya minum obat berlebihan, bahkan sempat mencoba g******g diri,” ungkapnya tanpa menutupi getir.

“Lucunya, tali yang saya gunakan itu tali rapia, dan putus. Mungkin itu pertanda dari Allah bahwa saya belum waktunya pergi,” lanjutnya.

Deddy terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. “Saya baru sadar sekarang,” katanya pelan. “Tuhan itu Maha Baik. Mustahil Ia membawa saya sejauh ini hanya untuk gagal.”

Jalan Pulang ke Hidup

Butuh waktu lama bagi Deddy untuk menerima kenyataan bahwa dirinya hidup dengan gangguan kesehatan mental.

Namun kesadaran itu menjadi awal dari perjalanan pulih. Ia mulai mengikuti terapi, berkonsultasi dengan psikolog, dan perlahan membuka diri pada lingkungan baru.

Titik terang itu datang ketika ia bertemu dengan Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin (Pusdis Unhas). Melalui jaringan alumni, Deddy dikenalkan pada komunitas ini yang memberi ruang bagi penyintas disabilitas fisik maupun mental untuk berdaya.

“Saya pertama kali datang ke PUSDIS akhir 2023,” ujarnya tersenyum. “Awalnya saya merasa tidak pantas. Saya hanya alumni dengan gangguan mental, tidak punya apa-apa. Tapi teman-teman dan Kepala PUSDIS memberi saya ruang dan kesempatan untuk berkontribusi.”

Di lingkungan PUSDIS, Deddy menemukan kembali arti hidup. Ia dilibatkan dalam program literasi inklusif, pelatihan kesadaran disabilitas, dan pendampingan mahasiswa berkebutuhan khusus.

Dari ruang kecil itu, semangat hidupnya tumbuh lagi. “Mereka tidak melihat saya dari penyakit saya, tapi dari potensi yang masih bisa saya bagi,” katanya.

Kini, Deddy menjadi salah satu relawan aktif yang mengampanyekan isu kesehatan mental di kampus dan masyarakat. Ia kerap menjadi pembicara dalam seminar dan pelatihan, membagikan kisah hidupnya sebagai bentuk edukasi dan empati. “Saya ingin orang tahu bahwa gangguan mental bukan akhir, tapi titik balik untuk mengenali diri,” ujarnya.

Bagi Deddy, skizofrenia bukan kutukan. Ia adalah bagian dari perjalanan hidup yang justru mengajarinya banyak hal.

“Saya belajar tentang batas diri, tentang pentingnya mendengarkan tubuh dan pikiran,” katanya. “Yang paling penting, saya belajar bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja.”

Ia juga menekankan pentingnya keberanian untuk bercerita. “Langkah pertama menuju pemulihan adalah berani membuka diri,” tegasnya. “Kalau kita diam, luka itu membusuk di dalam. Tapi ketika kita cerita, ada peluang untuk sembuh.”

Di tengah kesibukannya di PUSDIS, Deddy kini aktif menulis di blog pribadinya tentang pengalaman hidup dengan gangguan mental. Ia juga menjadi mentor bagi mahasiswa yang mengalami tekanan psikologis. “Saya tidak ingin ada orang yang merasa sendirian seperti dulu saya,” ucapnya.

Baginya, dukungan lingkungan sangat penting. Ia mengingatkan agar masyarakat berhati-hati dalam berbicara, karena ucapan bisa menjadi racun bagi orang yang sedang rapuh. “Kadang kita tidak tahu, kalimat kecil bisa memicu luka besar,” katanya.

Pesan untuk Generasi Muda

Menutup kisahnya, Deddy mengirimkan pesan sederhana namun dalam: “Jangan menyerah.” Ia percaya setiap orang punya jalan pemulihan masing-masing.

“Saya dulu pernah di titik nol, bahkan lebih gelap dari itu,” katanya. “Tapi Tuhan tidak pernah meninggalkan saya. Ia memberi saya kesempatan kedua untuk hidup.”

Kini, setiap langkah Deddy adalah bentuk syukur atas kesempatan itu. Ia berharap generasi muda Unhas dan masyarakat luas berani peduli pada isu kesehatan mental, bukan sekadar membicarakan tapi juga memahami dan mendukung satu sama lain.

“Kita semua punya peran,” ujarnya. “Entah sebagai teman yang mendengar, keluarga yang memahami, atau diri sendiri yang belajar menerima.”

Sore itu, setelah sesi wawancara berakhir, Deddy tersenyum. Tak ada lagi gelap yang mengurungnya. Ia telah berdamai dengan dirinya, menjadikan luka sebagai pelita bagi orang lain.

“Saya pernah gagal mengakhiri hidup,” katanya pelan, “tapi sekarang saya tahu, itu bukan kegagalan. Itu adalah kesempatan untuk memulai hidup yang baru.”

Dari luka batin hingga cahaya pemulihan, kisah Deddy Sasmita mengingatkan kita bahwa kesehatan mental adalah bagian dari kemanusiaan. Bukan untuk disembunyikan, tapi untuk dirangkul. Karena setiap orang, tanpa terkecuali, berhak untuk sembuh dan kembali bahagia.

(Zahra Tsabitha Sucheng / Unhas.TV)

Disclaimer: Tulisan sebagai bagian dari edukasi untuk generasi muda tentang penderita skizofrenia.