Kesehatan
Unhas Figure
Unhas Sehat

Belajar Bedah Tanpa Darah: Revolusi Pendidikan Dokter Gigi di Era Virtual

UNHAS.TV - Sebuah ruangan di lantai tiga Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin tampak seperti ruang pelatihan bedah, lengkap dengan monitor, headset, dan alat seperti joystick. Namun tak ada darah, tak ada pasien, dan tak ada aroma steril ruang operasi. 

Yang ada adalah dunia maya: tulang rahang, struktur wajah, dan jaringan lunak yang bisa dipotong, dijahit, dan disimulasikan ulang. Di sinilah lahir dokter gigi masa depan.

Prof. Drg. Muhammad Ruslin, Sp.BM(K), Ph.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Unhas, menyambut kami dengan senyum tenang. Ia bukan hanya seorang bedah mulut dan maksilofasial, tetapi juga penggagas ruang realitas imersif pertama untuk pendidikan kedokteran gigi di Indonesia Timur. 

“Kami tidak hanya mengejar ketepatan teknik,” katanya, “tetapi juga menanamkan rasa percaya diri dan refleks motorik yang diperlukan dalam situasi nyata.”

BACA: Unhas Merevolusi Pendidikan Dokter Gigi: Dari Praktik Pindah ke Ruang Virtual

Teknologi ini bernama Le Fort I Orthognathic Surgery Simulator—sebuah simulasi operasi bedah rahang yang kompleks, dilengkapi tiga mode: anatomical structure, preparation, dan surgery. “Mahasiswa bisa mengulang-ulang prosedur yang sama tanpa membahayakan pasien,” ujar Ruslin. “Mereka belajar bukan hanya melihat, tapi merasakan.”

Dunia kedokteran gigi bukan lagi sekadar soal gigi berlubang dan tambalan amalgam. Ia berkembang ke arah bedah kompleks, manajemen trauma wajah, hingga operasi rekonstruksi.

Di sinilah realitas virtual mengambil peran. Dalam sistem yang dikembangkan oleh tim Prof. Ruslin bersama kolaborator nasional seperti Universitas Padjadjaran dan Universitas Sumatera Utara, mahasiswa bisa ‘menyentuh’ anatomi, mengamati respons jaringan, dan bahkan melakukan jahitan virtual.

“Teknologi ini adalah jembatan,” kata Ruslin. “Antara apa yang dibayangkan mahasiswa dengan apa yang mereka hadapi di ruang praktik nanti.”


Prof drg Muhammad Ruslin

Riset internasional mendukung pendekatan ini. Studi oleh Peters (2023) dan Liu (2021) menunjukkan bahwa pelatihan berbasis realitas virtual mampu memangkas waktu operasi, memperbaiki presisi teknik, dan meningkatkan rasa percaya diri mahasiswa. “Kami ingin mahasiswa Unhas tidak kalah dari negara maju,” ucap Ruslin.

Dari Simulator ke Sosial

Yang mengejutkan, simulator ini tidak hanya digunakan untuk pelatihan bedah. Fakultas Kedokteran Gigi Unhas juga mengembangkan program balance training berbasis realitas imersif untuk anak-anak dengan sindrom Down.

Anak-anak itu, dengan headset di kepala, belajar keseimbangan sambil bermain. “Itu bagian dari cita-cita kami,” kata Ruslin, “bahwa teknologi tak hanya untuk mereka yang sehat dan mapan, tapi juga yang rentan dan dilupakan.”

Dalam satu dekade terakhir, banyak fakultas kedokteran gigi di dunia memperdebatkan antara metode klasik—dengan praktik langsung pada pasien—dengan pendekatan digital. Tapi di tangan Prof. Ruslin, dua dunia itu tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan.

“Kami tetap ajarkan mahasiswa menyentuh jaringan manusia sungguhan,” katanya. “Tapi mereka datang ke ruang itu dengan kesiapan yang jauh lebih matang.”

Kini, Fakultas Kedokteran Gigi Unhas menjadi salah satu pusat pengembangan teknologi pendidikan kedokteran gigi berbasis realitas virtual di Indonesia. Melalui Thematic Research Group bernama IDEA (Immersive Development for Engaging Advancements), inovasi demi inovasi terus dikejar. “Kami percaya,” kata Ruslin, “pendidikan harus adaptif terhadap zaman.”

Dan dari ruang kecil di lantai tiga itu, masa depan dokter gigi Indonesia sedang dibentuk—tanpa darah, tanpa rasa takut, tapi dengan ketelitian yang nyaris presisi mesin.