MAKASSAR, UNHAS.TV - Beberapa bulan terakhir, berbagai dugaan kasus korupsi diungkap oleh aparat penegak hukum. Deretan kasus ini mencuat di tengah meningkatnya sorotan publik terhadap integritas pejabat negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Konstitusi (MK) menjerat sejumlah pejabat publik di berbagai tingkatan dengan dugaan tindak pidana korupsi (tipikor).
Penangkapan dan pengungkapan kasus-kasus korupsi ini menjadi perhatian luas. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah ini merupakan momentum nyata untuk memberantas korupsi secara sistemik atau hanya gimik politik yang bersifat sesaat menjelang pergantian kepemimpinan nasional?
Akademisi dan Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas, Endang Sari SIP MSi, menilai bahwa pemberantasan korupsi harus diawali dari komitmen tegas pemerintah. Hal ini akan menjadi ukuran bagi publik untuk melihat seberapa serius pemerintah dalam menegakkan integritas.
"Seharusnya ini menjadi komitmen nyata, karena kita tahu bersama bahwa musuh utama dalam integritas pemerintahan adalah korupsi yang sudah membudaya di berbagai instansi," kata Endang Sari, kepada Unhas.TV, Kamis (20/3/2025).
Endang menambahkan bahwa titik awal dari pemerintahan yang baru adalah meyakinkan publik bahwa pemberantasan korupsi dilakukan secara adil dan tidak tebang pilih.
"Masyarakat menunggu aksi nyata, bukan sekadar pernyataan politik. Kepercayaan terhadap pemerintah hanya bisa tumbuh dengan kerja nyata dan komitmen tegas," ujarnya.
Korupsi merupakan musuh besar dalam sistem pemerintahan yang bersih dan transparan. Sepanjang sejarah, Indonesia menghadapi berbagai skandal korupsi yang menggerogoti sektor pengadaan barang dan jasa, penyalahgunaan anggaran negara, hingga praktik suap-menyuap dalam proses perizinan dan pengangkatan jabatan.
Berdasarkan laporan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia pada tahun 2024 berada di angka 34 dari skala 100, menunjukkan masih tingginya tingkat korupsi di tanah air.
Belakangan ini, sejumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK dan aparat penegak hukum lainnya menunjukkan adanya geliat pemberantasan korupsi yang kembali menghangat.
Kasus terbaru melibatkan pejabat tinggi, bupati, hingga pengusaha yang terjerat dalam skandal besar. Namun, masyarakat mulai bertanya-tanya apakah ini murni upaya penegakan hukum atau ada unsur politik di baliknya.
Menurut data KPK, sepanjang tahun 2023 hingga awal 2025, lebih dari 120 pejabat publik ditangkap atas dugaan kasus korupsi. Kasus-kasus tersebut meliputi suap dalam proyek infrastruktur, penggelapan dana bantuan sosial, hingga gratifikasi dalam pengisian jabatan.
Meski angka ini cukup tinggi, efektivitas pemberantasan korupsi masih dipertanyakan karena banyak kasus yang akhirnya berujung pada hukuman ringan atau remisi.
"Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa hanya menjadi agenda musiman yang mencuat di masa-masa tertentu. Komitmen tegas dari pemerintah dan penegak hukum sangat dibutuhkan," tegas Endang Sari.
"Hal itu untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Tanpa reformasi yang menyeluruh, pemberantasan korupsi hanya akan menjadi narasi kosong tanpa perubahan nyata," pungkas mantan komisioner KPU Makassar ini. (*)
(Andi Putri Najwah / Unhas.TV)