Lingkungan

Blue Forest di Tanakeke: Menjaga Laut, Menyelamatkan Darat

UNHAS.TV – Di timur selatan Sulawesi, jauh dari pusat kekuasaan dan sorotan media, berdiri sebuah pulau kecil yang diam-diam menjadi titik genting antara krisis dan keberlanjutan. Namanya Pulau Tanakeke.

Tak banyak yang tahu, namun bagi mereka yang menyimak denyut lingkungan hidup Indonesia, nama itu berarti banyak hal: ketegangan antara kebutuhan hidup dan konservasi, antara tambak dan hutan, antara arang dan harapan.

Pulau ini telah lama menjadi saksi dari babak-babak pembukaan tambak, krisis budidaya, dan pemulihan yang tak mudah. Tapi di tengah semua itu, ada sosok yang datang bukan dengan larangan, melainkan dengan tawaran kerja sama.

Ia adalah Yusran Nurdin Masa—Environmental Technical Advisor di Blue Forest, sebuah organisasi yang sejak 2001 menanam, menyulam, dan menghidupkan kembali pesisir Indonesia dengan pendekatan yang lebih membumi: mengajak masyarakat menjadi mitra, bukan objek.

“Kalau mangrove rusak, bukan cuma ikan dan kepiting yang hilang. Tapi juga perlindungan alami dari abrasi, gelombang, dan bahkan dari krisis iklim,” ujar Yusran dalam episode perdana Unhas Green di Unhas TV.

Kalimatnya tenang, tapi mengandung kerisauan yang dalam. Ia tahu betul, terutama soal Tanakeke—pulau kecil yang kian terjepit antara gelombang laut dan tekanan ekonomi.

Tanakeke: Pulau Kecil di Tengah Badai Besar

Dulu, seperti banyak kawasan pesisir lainnya, Tanakeke ikut dalam euforia konversi mangrove menjadi tambak. Dari tahun 1980-an hingga awal 2000-an, ratusan hektar hutan bakau ditebang demi kolam budidaya udang dan bandeng. Tapi keuntungan tak berlangsung lama.

Sekitar lima tahun kemudian, tambak-tambak itu mulai rusak. Air asin meresap ke daratan, abrasi makin sering terjadi, dan yang tersisa adalah lahan terbengkalai.

Tahun 2012, datang pukulan lain: penyakit menyerang rumput laut, yang selama ini menjadi tumpuan baru ekonomi warga. Kehidupan makin sulit, dan seperti paradoks yang menyakitkan, hutan yang dulu ditebang demi tambak kini ditebang kembali—untuk arang.

Jumlah dapur arang melonjak. Dari empat menjadi lebih dari dua belas. Kayu bakau, yang butuh puluhan tahun untuk tumbuh, kembali diambil, dibakar, dijual. Siklus merusak kembali berulang. “Ini bukan soal pilihan yang buruk, tapi soal tidak ada pilihan lain,” ujar Yusran.

Hutan Biru: Menjawab dengan Akar

Blue Forest—atau Yayasan Hutan Biru—memulai pendekatannya di Tanakeke bukan dengan spanduk atau kampanye larangan. Mereka datang dengan mendengarkan. Mereka memahami bahwa keberlanjutan lingkungan hanya mungkin jika masyarakat punya alasan untuk bertahan.


>> Baca Selanjutnya