
Mereka mulai dengan kawasan tambak yang tak lagi digunakan. Sekitar 570 hektar lahan terbengkalai direstorasi melalui pendekatan ecological mangrove rehabilitation.
Separuh diubah menjadi hutan kembali, dan sisanya dijadikan tambak yang dikelola dengan prinsip keberlanjutan. Lokasi percontohannya di Kuricadi, Maros, jadi model nasional untuk integrasi mangrove dan tambak.
Di Tanakeke, pendekatan ini diperkuat dengan sekolah lapang, pelatihan pertanian pesisir, serta inisiatif pembentukan Permakades—peraturan kepala desa—untuk melindungi hutan adat seperti Panganreang atau Bangkota Pampang.
Dahulu, kawasan ini hanya boleh ditebang jika ada warga yang benar-benar dalam keadaan darurat ekonomi. Tapi kini, tekanan ekonomi dan masuknya pengusaha arang membuat kawasan ini kembali rawan.
“Kalau negara tidak hadir, aturan desa bisa runtuh,” kata Yusran. Sebab seringkali, yang menebang adalah keluarga sendiri. Dan tanpa kehadiran pemerintah sebagai penengah, konflik tak terselesaikan. Di sinilah Blue Forest mencoba menjembatani—mengisi kekosongan kelembagaan dengan gerakan yang berpihak pada masyarakat dan lingkungan.
Menanam mangrove bukan soal menaruh bibit di lumpur. Ia soal kesadaran. “Yang sulit adalah menanam mangrove di kepala,” ucap Yusran. Pernyataan itu mencerminkan inti dari kerja konservasi hari ini: bukan sekadar proyek tanam, tapi perubahan cara pikir.
Blue Forest percaya bahwa perubahan sejati harus mengakar di pikiran dan hati. Maka mereka tak hanya bekerja dengan warga, tapi juga melibatkan akademisi, media, hingga mendorong keterlibatan sektor swasta lewat skema seperti carbon trading dan payment ecosystem services.
Model seperti ini bahkan sudah dijalankan di Asmat, Papua, di mana PDAM membayar jasa ekosistem kepada masyarakat yang menjaga hutan.
Di Tanakeke, harapan masih tumbuh, meski lambat. Tapi di akar-akar mangrove yang ditanam kembali, dan di pikiran-pikiran yang mulai berubah, benih masa depan sudah ditanam.
Karena seperti langit yang membiru setelah hujan, atau laut yang tenang setelah badai, Tanakeke mengajarkan kita satu hal: menjaga alam bukan beban, tapi jalan pulang untuk hidup yang lebih lestari.