Opini

Opini: Merdeka dan Berdaulat di Lintas Batas

Oleh: *Muhammad Rusli Malik

Atas dasar apa orang-orang bicara kedaulatan? Tentu saja, sederhananya, atas dasar batas negara yang diakui oleh pihak-pihak yang berhak mengakui. Orang sekolahan menyebutnya nation state. Tapi buka nation seperti yang dimaksud Cicero dalam nation servituti nata. Atau seperti yang disebutkan Heronimus: innumerabiles et ferocissimae nationes.

Karena nation dalam kalimat itu bermakna sangat sempit: suku. Dan suku, jika berhadap-hadapan dengan suku lain, cenderung bersifat curiga dan ganas (ferocissimae). Bila berhasil mengalahkannya, akan memperbudaknya (servituti).

Itulah sebabnya nation state yang ditopang oleh superioritas suku tertentu cenderung menjelma menjadi negara fasis atau apartheid. Ke dalam menindas. Ke luar mengobarkan perang untuk memperluas wilayah kuasa. Fasisme dulu: Jerman, Italia dan Jepang. Apartheid kini: Israel.

Nation state dalam pengertiannya yang paling ideal adalah sebuah entitas bangsa yang mengakomodasi pluralitas: suku, agama, sekte, kepercayaan dan golongan. Tapi, agaknya itupun belum cukup. Kata Renan, semua unsur itu harus ditopang oleh tonggak utama. Yaitu kehendak untuk hidup bersama: le desire de vivre ensemble.

Ujian berkesinambungan bagi eksistensi sebuah negara bangsa terletak pada “kehendak untuk hidup bersama” itu. Ujian itulah yang akan menentukan apakah tonggak itu benaran atau abal-abal. Bila benaran, maka nation state tersebut akan survive, kuat dan maju. Sebaliknya, kalau abal-abal, cepat atau lambat akan menjadi failed state yang segera akan menggiringnya menjadi bagian dari masa lalu yang ditangisi.

Kegagalan itu tak saja disebabkan terkhianatinya konstitusi negara bangsa. Tapi juga terkhianatinya darah pendiri bangsa yang mengalir dari bermacam-macam hulu. Dalam konteks Hindia Belanda, hulu mereka berbeda-beda, tapi muara mereka sama: Indonesia.

Mari kita ambil 3 contoh figur yang punya peran penting bagi kemerdekaan Indonesia. Ernest François Eugène Douwes Dekker alias Setiabudi yang berdarah Belanda-Jerman-Jawa. Laksamana Muda Tadashi Maeda yang berdarah Jepang. Dan A.R. Baswedan yang darahnya berhulu di Hadramaut.

Tak hanya darah, rohani mereka juga berbeda. Ada yang Kristen. Ada yang Shinto. Ada yang Islam. Tapi jiwa mereka sama: Indonesia berdaulat. Lepas dari kolonialisme dan imperialisme.

Dan demi itu, mereka rela mempertaruhkan hidup dan reputasinya di komunitas asal mereka. Tadashi Maeda, selain ditangkap dan dipenjara sekutu, juga ‘dihadiahi’ pengadilan militer oleh negaranya dengan tuduhan berkhianat karena memfasilitasi kemerdekaan Indonesia. Rasanya tak terbayangkan Indonesia bisa memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 andai Maeda tidak menyediakan rumahnya malam itu untuk menjadi tempat persiapan dan perumusan naskah proklamasi kemerdekaan esoknya.

Juga Douwes Dekker. Ia tak saja tak disukai oleh pemerintah kolonial Belanda tapi juga oleh komunitas Indonya. Kalau pejuang kemerdekaan lain umumnya dibuang ke Boven Digul, Dekker justru dibuang dan dipenjara di Suriname. Sekarang saja tak terkira jauhnya apalagi dulu. Dan semangat perjuangannya tak pernah surut. Bahkan pada saat Indonesia sudah merdeka pun ia masih ditangkap oleh Belanda pada Aksi Polisionilnya, di saat usianya sudah menjelang 70.

Semangat yang sama juga ada pada A.R. Baswedan. Tulisannya yang berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya” di Harian Matahari Semarang (edisi 1 Agustus 1934) menjadi api yang membakar semangat anak-anak bangsa yang berdarah Arab, keturunan ataupun totok, untuk ikut menceburkan diri ke dalam revolusi kemerdekaan. Perjuangan diplomasinyalah yang menyebabkan Mesir menjadi entitas negara pertama yang memberikan pengakuan kemerdekaan Indonesia, de facto dan de jure.

Itu makanya mantra Renan tak boleh dipandang sebelah mata. Dalam membangun dan memperkuat daulat negara. Bahwa karena pemilik kehendak untuk hidup bersama itu berasal dari hulu yang bermacam-macam, maka syarat ini, kata Renan, menjadi tak terhindarkan: solidaritas.

Entah Renan telah membaca Piagam Madinah atau tidak, yang jelas bahwa manteranya tersebut persis yang Nabi lakukan saat pertama kali meletakkan pondasi nation state baru yang diberinya nama Madinatul Munawwarah.

Dari 47 pasal isinya, substansinya adalah solidaritas, sementara praksisnya bisa dibagi menjadi tiga bagian penting: egaliterianisme, pluralisme, dan nasionalisme.

Dalam pandangan tauhid, syirik adalah dosa besarnya segala dosa besar. Kitab Suci menyebutnya “kezaliman terbesar”, zulmun azhim. Tetapi di dalam Piagam Madinah itu, orang-orang musyrik diakomodasi sebagai warga negara setara dengan warga negara mukmin. Pasal 20 khusus mengatur mereka. Yaitu agar mereka tidak membantu musyrik Quraisy (Mekah) dalam memerangi Madinah.

Begitu juga terhadap orang-orang Yahudi. Pasal 25: “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarga.”

Orang-orang Yahudi dari klan yang berbeda-beda diperlakukan sama dengan perlakuan yang diterima oleh Yahudi Bani ‘Awf ini. Satu pasal untuk satu klan. Yaitu pasal 26 sampai pasal 34. Bahkan pasal 35 menyebutkan secara khusus bahwa “Kerabat Yahudi (di luar negara Madinah, diperlakukan) sama seperti mereka (Yahudi Madinah).”

Dan satu pasal lagi yang tak boleh kita lewatkan. Yang mungkin sebagian besar umat Islam kini tak percaya bahwa pasal ini diinisiasi oleh Rasulullah, Manusia Suci sejagat. Yaitu pasal 39, yang menyebutkan dengan jelas bahwa: “Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya haram (suci) bagi warga piagam ini.”

Artinya bahwa nation state yang bernama Madinatul Munawwarah, yang dibangun oleh Utusan Tuhan, Muhammad bin Abdullah saw itu, tak saja suci bagi kaum mukmin, tapi juga suci bagi kaum musyrik dan Yahudi. Inilah egalitarianisme dan pluralisme sejati yang mendahului Revolusi Perancis dan pidato Renan yang berjudul “Qu ‘est ce qu’ une Nation?” (Apakah Bangsa itu?) pada tahun 1882 di Universitas Sorbonne.

Dalam piagam ini, kedaulautan bangsa tidak bisa ditawar-tawar. Mari kita simak isi lengkap pasal 20 yang mengatur orang-orang musyrik tadi: “Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.”

Kombinasi pasal 20 dan pasal 35 menyimpulkan bahwa negara terbuka untuk bekerjasama dengan pihak luar manapun selama tidak merugikan kepentingan nasional atawa tidak mengganggu kedaulatan nation state.

Artinya negara tidak perlu bersikap curiga kepada aktivitas trans nasional selama bisa dipastikan bahwa aktivitas tersebut mendukung bahkan memperkuat daulat eksistensi negara. Toh di bumi yang satu ini transnasionalisme tak terhindarkan. Diaspora adalah kata kunci penyebaran penduduk. Dan dalam diaspora itu selalu tak terhindarkan ikut sertanya ideologi, agama, kepercayaan, dan kultur.

Sebaliknya, kendatipun itu murni aktivitas domestik tetapi memiliki potensi gangguan terhadap daulat negara maka negara harus mengambil tindakan preventif. Di sini nasionalisme tidak boleh samar-samar. Nasionalisme harus jelas dan tegas. Roh nasionalisme adalah menjaga kepentingan bersama tanpa kecuali.

Negara bagaikan Rama dan rakyat bagaikan Sinta. Pemerintah bisa siapa saja dan dari hulu mana saja. Bisa adil bisa zalim. Ketika Rahwana hendak memisahkan Rama dan Sinta, peristiwa itu bagaikan penguasa yang hendak memisahkan negara dan rakyat. Lantas bagaimana dengan ilmuwan, agamawan, budayawan, dan para pemikir? Mereka adalah Jatayu.

Jatayu menasihati Rahwana: “Aku peringatkan kamu. Rama adalah orang hebat dan lawan berbahaya bagimu. Ia adalah Tuan alam semesta. Dan kamu mau menculik istrinya. Ini adalah perbuatan salah. Kau adalah raja yang termashyur dan kau harus berusaha mengikuti jalan yang benar seperti yang ditunjukan dalam sastra. Jika seorang raja melakukan perbuatan salah bagaimana ia mendapatkan rasa hormat dari rakyatnya? Engkau harus melindungi seorang wanita seperti kamu memperlakukan adik dan ibumu. Jangan lupa diri hingga menyebabkan noda dan kematian pada dirimu.…”

Tentu tidak semua yang dikatakan Renan tentang umat Islam benar, tetapi tak ada salahnya mempertimbangkan masukannya. Menurutnya, keruntuhan Islam sebagai nation (ummah) disebabkan oleh sikap tertutupnya terhadap apa yang datang dari luar dirinya.

Dalam pidatonya yang berjudul “L'islamisme el la science”, filosof dan ahli sejarah agama itu mengungkapkan: “Kesederhanaan yang memancar dari ibadahnya menginspirasinya untuk mencela agama lain dengan dalil yang tidak cukup kuat. Percaya bahwa Allah memberi keberuntungan dan kekuatan kepada yang dikehendakiNya tanpa mempertimbangkan pendidikan dan kecakapan personal. Seorang Muslim memiliki kebencian mendalam terhadap pendidikan, ilmu pengetahuan, dan semua yang berasal dari spirit dan pemikiran Eropa.”

Douwes Dekker, Tadashi Maeda, dan A.R. Baswedan adalah manusia transnasional. Hulu mereka jauh di luar wilayah teritorial Indonesia. Tetapi jiwa mereka adalah roh nasionalisme Indonesia. Dalam tulisannya di Nieuwe Arnhemsche Courant (Mei 1908), Dekker mengungkap bahwa politik etis bukanlah jalan keluar dari krisis. Jalan keluar yang sebenarnya, katanya, adalah pemerintahan Hindia yang mandiri.

Pesan penulis Max Havelaar, yang juga dikenal dengan nama Setiabudi Danudirdja, itu agaknya perlu direproduksi kembali di tengah derasnya arus globalisasi kini. Terutama oleh anak-anak bangsa yang kebetulan memiliki tangan kuasa. Agar tak mudah dibeli oleh pihak manapun. Dan agar mereka tidak menjelma menjadi Rahwana. Demi Indonesia yang berdaulat dalam pengertian sejatinya.***