News
Program
Unhas Speak Up

Budaya Flexing, Guru Besar FEB Unhas Soroti Akar Sosial di Balik Korupsi Pejabat Negara

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Prof Dr Syamsuddin SE MSi Ak CA CRP. Prof Syamsuddin menyoroti budaya flexing pejabat sebagai akar korupsi. (dok unhas.tv)

UNHAS.TV - Fenomena hedonisme atau pamer harta kekayaan di kalangan pejabat publik dan aparatur sipil negara (ASN) kini menjadi sorotan tajam masyarakat.

Unggahan gaya hidup mewah di media sosial, mulai dari liburan ke luar negeri hingga koleksi barang bermerek, disebut juga dengan istilah flexing, menimbulkan tanda tanya besar di tengah keterbatasan pendapatan resmi seorang pegawai negeri. 

Publik pun mulai kehilangan kepercayaan, menilai bahwa kemewahan yang dipertontonkan para pejabat mencerminkan ketimpangan moral dan lemahnya integritas dalam birokrasi.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Prof Dr Syamsuddin SE MSi Ak CA CRP menanggapi fenomena itu. Ia menilai langkah pemerintah yang melarang ASN memamerkan kemewahan di media sosial sudah tepat.

"Saya melihat kebijakan itu sudah tepat. Ruang gerak mereka memang perlu dibatasi. Sebagai auditor internal, kalau publik sudah ramai berpendapat sama tentang perilaku hedon aparatur negara, itu artinya perlu ditelusuri lebih dalam. Kita tahu standar gaji di Indonesia seperti apa," ujarnya dalam program Unhas Speak Up di Unhas TV, Senin (27/10/25).

Menurutnya, perilaku hedon bukan hal yang sepenuhnya salah selama dilakukan secara wajar. Namun, ketika seseorang mulai memamerkan merek-merek mewah yang tak sebanding dengan pendapatan resmi, di situlah persoalan moral dan etika jabatan muncul.

"Hedon boleh saja, tapi jangan berlebihan. Jangan sampai memamerkan merek yang bahkan tidak bisa dijangkau dengan penghasilan yang wajar," tambah guru besar bidang auditing itu.

Prof Syamsuddin menekankan pentingnya peran audit internal di setiap lembaga pemerintahan. Ia menyebut audit internal sebagai pintu awal dalam mengawasi perilaku pejabat, terutama mereka yang memiliki potensi menyalahgunakan kekuasaan.

"Pejabat negara harus pahami bahwa kekuasaan itu bisa menguasai rasionalitas seseorang. Banyak yang sudah dilarang tapi tetap dilakukan. Korupsi itu bukan hanya soal uang, tapi ada proses dan perilaku di baliknya. Semua pejabat berpotensi melakukan itu," jelasnya.

Bahkan, mantan Ketua Program Magister Keuangan Daerah Unhas ini juga menyinggung betapa sulitnya memperoleh bukti internal di lembaga pemerintahan karena potensi manipulasi data sangat tinggi.

"Biasanya bukti internal itu sulit didapat karena bisa dimanipulasi. Cinta saja bisa dimanipulasi, apalagi angka," ucap guru besar yang dikukuhkan pada 15 Oktober 2024 ini.

"Makanya, informan yang paling bagus sebenarnya media massa. Rekam jejak seseorang akan terus terekam. Itulah pintu bagi audit investigasi," lanjut Syamsuddin yang menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Padjadjaran tahun 2003 ini.

Dinilai Guru Besar FEB Unhas itu, kalau gaya hidup berlebihan pejabat dapat merusak kepercayaan publik. Masyarakat, kata dia, kerap menilai institusi dari perilaku oknumnya.

"Pejabat itu seharusnya melayani masyarakat, bukan menikmati jabatan. Tapi yang terjadi, banyak pejabat justru menjadi penikmat kekuasaan. Akibatnya, muncul persepsi negatif seperti ‘orang pajak itu begini’, padahal tidak semua seperti itu. Yang rusak bukan institusinya, tapi oknumnya," tegasnya.

"Jika seorang pejabat benar-benar memahami dirinya sebagai pelayan masyarakat, maka integritasnya akan semakin tinggi," ucap Prof Syamsuddin.

Dilanjutnya, jika akar dari praktik korupsi adalah relasi kekuasaan dan moralitas. Prof Syamsuddin mencontohkan, ketika seseorang diperiksa oleh orang yang telah mengangkatnya dalam jabatan, maka proses pengawasan bisa menjadi bias.

"Kalau saya yang meng-SK-kan Anda, apakah Anda bisa memeriksa saya? Pasti berat hati. Padahal hukum itu kalau rusak, maka rusaklah negara. Semua pejabat digaji dari APBN, artinya uang masyarakat," jelasnya.

Sosok Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung RI, kemudian disebutnya sebagai teladan pejabat sederhana yang patut ditiru.

"Kalau mau kaya, jangan jadi ASN. Karena dari gaji saja tidak akan cukup untuk hidup mewah. Jadi, perhatikan bukan hanya angka-angkanya, tapi juga perilaku sosialnya," kata Syamsuddin

Untuk memutus rantai korupsi yang berawal dari gaya hidup hedonistik, diperlukan dua hal penting adalah hukum dan moral.

"Hukum saja tidak cukup. Harus ada moralitas yang menuntun perilaku. Jabatan itu sementara, dan pada akhirnya akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat," tutup Prof Syamsuddin.

(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas TV)