Bentuk wihara ini cukup unik dan mencerminkan perpaduan berbagai macam kultur atau budaya. Di bagian depan, pengunjung akan disambut dengan sebuah gerbang berwarna merah. Warna yang merupakan cerminan budaya etnis Cina.
Memasuki bagian dalamnya terdapat dinding yang dipenuhi dengan relif bermotifkan Buddha. Saya melihat kalau relief itu menggambarkan kehidupan Sidharta Gautama, mulai dari lahir, masa remaja, masa pencerahan, hingga periode mangkat.
Saya sempat tersenyum saat melihat relief kera sakti Sun Go Kong, bersama gurunya biksu Tong, serta Pat Kay (siluman babi), Wu Jing, dan kuda putih. Mereka adalah sosok dalam kisah klasik Journey to the West,.
Selain relief, terdapat pula sebuah stupa, mirip dengan stupa yang ada di candi Borobudur. Tidak mengherankan ada stupa ini disini mengingat Borobudur adalah candi Buddha terbesar. Sebuah prasasti yang ditandatangani oleh pejabat Kementrian Agama pun terletak di halaman depan.
Patung Buddha tidur sendiri berada di balik dinding berrelif tersebut. Letaknya ada di sebuah bangsal tersendiri. Mengingat ukurannya yang sangat besar, maka memang perlu ruang penempatan yang sama besarnya pula. Selain itu patung ini merupakan tokoh utama di vihara ini.
Di kedua dinding bangsal tempat patung ini berada, terdapat lemari kaca berisi ratusan patung-patung kecil. Tadinya, saya mengira patung-patung ini adalah persembahan dari keluarga-keluarga untuk anggota mereka yang sudah tiada. Terlihat terdapat label nama orang pada setiap patung tersebut.
Ternyata, nama-nama itu adalah para penyumbang. Nama mereka diabadikan di patung kecil itu, serta selalu didoakan.
Yang cukup mengherankan adalah tak banyak warga Bogor yang tahu keberadaan wihara ini. Saat menuju ke sini, saya bertanya kepada tiga orang di perjalanan, namun tak satupun yang mengetahui lokasinya. Saya lalu mengandalkan Google Map yang menunjukkan lokasi wihara ini. Dari rumah saya di Kota Bogor, saya butuh waktu sejam untuk tiba di tempat ini.
Saat tiba di situ pun, saya melihat ada spanduk merah bertuliskan tuntutan warga yang menolak wihara itu dilebarkan, tanpa persetujuan mereka. Padahal, jika wihara itu besar, warga yang akan kecipratan untung, mulai dari retribusi, lahan parkir, diperbaikinya sarana transportasi jalan, hingga jasa penginapan.
Di sisi lain, pemerintah juga tak berbuat apa-apa atas protes warga. Harusnya negara hadir untuk melindungi umat Buddha yang hendak beribadah. Ah, saya tak ingin ngomong banyak tentang ini. Setahu saya, Bogor dikenal sebagai wilayah yang dianggap tidak toleran.
>> Baca Selanjutnya