Budaya

Buddha Tidur, Siddharta, dan Wihara di Kampung Bogor

patung Buddha (foto: Yusran Darmawan)

MELIHAT patung ini, ingatan saya pada komik Buddha yang dibuat dewa manga, Osamu Tezuka. Di situ, ada kisah tentang Sidharta dan empat perjumpaan. Mulanya, Sidharta menyaksikan orang tua yang jalannya tertatih-tatih. Selanjutnya, ia melihat perempuan yang dilanda sakit parah, setelah itu ia melihat tulang belulang. Terakhir ia bertemu pertapa.

Empat perjumpaan itu membuat Sidharta merenungi tentang hakikat hidup. Bahwa manusia adalah mahluk yang amat rapuh, bisa terserang penyakit, pasti mengalami ketuaan, hingga akhirnya menjadi tulang-belulang. Lantas, jika kehidupan sedemikian fana, mengapa pula manusia harus meletakkan kehidupan sebagai segala-galanya?

Sidharta lalu memilih hidup sebagai pertapa yang melepaskan segala nikmat dunia. Ia menghadirkan cahaya terang yang menyelusup ke hati banyak orang, bahkan di zaman yang jauh ketika dirinya telah wafat. Ia mewariskan sesuatu yang tidak kecil, sebab menjadi suluh terang bagi banyak orang yang hendak menemukan kedamaian.

Sidharta meninggalkan kemewahan dunia. Ia menyebut kemewahan serta rasa kemelekatan atas dunia sebagai penjara-penjara yang menghalang manusia untuk menemukan kedamaian.

Dari Kavilawasthu, India, ajarannya menyebar ke seluruh dunia. Ajaran yang memasrahkan diri untuk mengalir dan mengikuti ke mana sungai semesta bergerak itu menjadi mata air bagi banyak orang yang hendak menemukan kedamaian.

Yang khas dari ajaran ini adalah pelepasan segala bentuk ego, serta melihat dunia hanya sebagai beban bagi perjalanan seseorang yang menempuh jalan spiritual. Dengan melepaskan dunia, seseorang berjalan menuju nirwana.

Jauh di Bogor, saya menemukan jejak ajaran Buddha itu.