Unhas Figure

Bukan Sekadar Direktur, Dr. Afdal Menulis untuk Mengabadi

UNHAS.TV - Gedung megah itu berdiri di tengah kampus Universitas Hasanuddin, tempat masa muda Dr. Andi Afdal pernah berdenyut dalam ritme kuliah, organisasi, dan idealisme mahasiswa. Kini, dua puluh lima tahun berselang, ia kembali.

Bukan sebagai mahasiswa pencari arah, tetapi sebagai seorang pemimpin nasional yang telah menulis enam buku, salah satunya berjudul The Art of Human Capital.

Ketika ditanya apa yang mendorongnya terus menulis di tengah kesibukannya sebagai Direktur Sumber Daya Manusia dan Umum di BPJS Kesehatan, ia menjawab tanpa ragu: “Saya paling benci penjajahan akal pikiran.”

Kalimat itu meluncur seperti ledakan kecil. Tak ada nada kemarahan, hanya keyakinan yang dalam. Menulis, baginya, bukan sekadar aktivitas intelektual. Itu adalah bentuk perlawanan.

Sejak masa mahasiswa, Andi Afdal sudah terbiasa berdebat. Ia aktif di organisasi intra dan ekstra kampus, menjadi penggerak diskusi dan pelaksana kegiatan. Tapi ia sadar, debat lisan punya batas. Kata-kata yang menguap di udara akan menghilang bersama waktu. Ia ingin sesuatu yang lebih menetap.

“Kalau kita mau ‘menjajah’ isi pikiran orang lain, maka tulislah. Setiap kali dia membaca tulisanmu, maka saat itu kamu sedang mengisi benaknya,” ujarnya, sambil tersenyum kecil.

Bagi Afdal, tulisan adalah perpanjangan dari pikiran yang tak pernah tidur. Ia mengaku, sebagian dari tulisannya lahir dari dorongan untuk mendokumentasikan pengalaman—bukan hanya yang baik, tapi juga kegagalan, ketidaksempurnaan, dan proses belajar.

Dalam The Art of Human Capital, misalnya, ia mengurai transformasi besar di tubuh BPJS Kesehatan, mulai dari rekrutmen, pengembangan SDM, hingga membangun budaya organisasi yang tangguh.

Dari Kamar Kos Hingga Ruang Direksi

Tidak ada yang mempersiapkan Andi Afdal untuk menjadi penulis. Ia lahir sebagai dokter, memulai karier dari puskesmas, sempat bekerja sebagai dokter kapal di KM Ciremai milik Pelni, dan melanglang ke pelosok Indonesia sebelum akhirnya berkantor di ibu kota.

Tapi justru dari pengalaman-pengalaman inilah ia menemukan bahan bakar untuk menulis: interaksi dengan banyak orang, kebiasaan mencatat, dan refleksi atas perubahan yang dilihatnya langsung.

“Saya tidak bisa ingat apa yang saya kerjakan kalau tidak menulis. Dulu belum ada video, belum ada dokumentasi digital seperti sekarang. Jadi ya saya tulis semua,” kenangnya.

Tulisan-tulisannya bukan catatan akademik yang kaku. Ia menyebutnya sebagai “kumpulan praktik”, semacam panduan dari lapangan yang bisa ditiru, dikritisi, atau dimodifikasi oleh siapa pun yang membaca.

Di dalam buku The Art of Human Capital, ada satu pesan penting yang berulang: manusia adalah pusat perubahan. Organisasi bisa berubah, teknologi bisa diganti, tapi manusialah yang menggerakkan semuanya. Karena itu, ia menaruh perhatian besar pada bagaimana manusia dikembangkan dalam sistem organisasi.

“Kita tidak hanya rekrut orang, tapi juga mendesain perjalanan mereka dari usia 25 sampai pensiun. Itu harus dirancang,” jelasnya.

Ia juga memperkenalkan konsep engagement dalam organisasi: bagaimana seorang karyawan merasa memiliki dan menjadi representasi institusi. “BPJS itu tidak hanya layanan. Setiap pegawainya adalah duta, adalah wajah organisasi,” tegasnya.

Warisan Tulisan, Warisan Kesadaran

Menulis, bagi Afdal, bukan soal menerbitkan buku dan dijual di toko. Itu adalah jejak. “Saya ingin ketika orang membaca buku saya, mereka bisa melihat pengalaman saya—apa yang berhasil dan apa yang gagal. Semua itu bisa jadi pelajaran,” katanya.

Ia mengajak generasi muda untuk tidak takut menulis, meski merasa belum sempurna. Ia sendiri menulis di sela-sela perjalanan dinas, tengah malam, atau saat menunggu di bandara.

“Kalau kamu tidak mulai menulis sekarang, kamu akan kehilangan kesempatan untuk mencatat dirimu sendiri. Dan siapa yang bisa mengingat jejakmu kalau bukan kamu sendiri?” katanya mantap.

Meskipun kini menjabat sebagai direktur di lembaga besar, ia tetap tekun menulis. Bukan untuk uang, bukan untuk pamrih. Tapi karena ia percaya, setiap pengalaman, jika tidak ditulis, akan hilang ditelan waktu.

Ia menulis sebagai bentuk tanggung jawab. Sebagai cara untuk mewariskan sesuatu. Sebagai legacy bagi generasi baru.

Dalam dunia yang penuh suara, tulisan adalah bentuk kehadiran yang tenang namun dalam. Ia tidak menuntut perhatian instan seperti konten media sosial. Ia tumbuh perlahan, menetap dalam ingatan, dan membentuk pandangan.

Dr. Andi Afdal tahu betul itu. Sebab dari kampus merah ke ruang direksi, dari organisasi mahasiswa ke jabatan nasional, dari buku pertama hingga buku keenam, ia tahu bahwa menulis bukan hanya tentang menata kata.

Tapi tentang menyatakan kemerdekaan: untuk berpikir, mencatat, dan melawan lupa. Karena bagi Afdal, menulis adalah satu-satunya cara untuk mengabadi—bukan dalam patung, tapi dalam pikiran.