Unhas Figure

Anas Urbaningrum dan 27 Tahun Reformasi yang Masih Jalan di Tempat

UNHAS.TV - Hari itu, 21 Mei 1998, adalah runtuhnya rezim Orde Baru. Tahun 2025 ini, Reformasi telah berulang tahun ke-27. Apa yang sudah terjadi selama kurun periode panjang tersebut?

Di bawah sorotan lampu studio Unhas TV, seorang tokoh yang pernah berdiri di garis depan perubahan Indonesia duduk tenang, Ia adalah Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum HMI yang turut memotori gerakan reformasi 1998.

Wajahnya masih seperti dua dekade silam. Senyumannya sama. Nada bicaranya tetap terukur. Tapi isi kepalanya penuh evaluasi tajam.

“Ternyata perjalanan sejarah itu tidak selalu dijamin bergerak maju. Ada yang cepat, ada yang lambat, bahkan ada yang jalan di tempat,” ujarnya.

Bagi Anas, reformasi bukan hanya momen penggulingan Soeharto, tapi cita-cita kolektif tentang Indonesia baru. Negara demokratis yang adil secara politik, ekonomi, dan sosial.

Indonesia yang desentralistik dan egaliter dalam hubungan pusat-daerah. Yang feodalisme kulturalnya mencair, dan kebebasan persnya terjaga. 

Namun setelah hampir tiga dekade, mimpi itu masih menggantung di langit-langit sejarah. “Yang dulu kami impikan banyak yang belum kesampaian,” kata pria kelahiran Blitar, 15 Juli 1969 itu.

Ia menyebut banyak agenda reformasi yang masih relevan hari ini. Seperti demokratisasi ekonomi, kebebasan pers, hingga otonomi daerah.

Beberapa bahkan, menurutnya, menunjukkan tanda-tanda kemunduran. “Ada kepala daerah yang mengeluh soal urusan-urusan yang mau dire-sentralisasi lagi,” tegas politisi yang juga mantan ketua umum Partai Demokrat ini.

Mahasiswa: Dulu Gigi Depan, Kini Sekadar Status?

Sebagai eks aktivis yang tahu betul denyut pergerakan kampus, Anas merasa ada yang hilang. “Dulu, mahasiswa itu gigi depan. Sekarang, bahkan menjelang pemilu, yang bergerak justru forum guru besar. Mahasiswa ke mana?” katanya. 

Menurutnya, media sosial telah mengubah lanskap gerakan mahasiswa. Kritik dan ekspresi hanya berhenti sebagai unggahan status. “Rembesannya ke realitas sosial hampir tidak ada,” ujarnya. “Gerakan mahasiswa jadi senyap.”

Tapi ia tak sepenuhnya pesimistis. Ia menyebut, barangkali yang berubah adalah definisi sukses bagi mahasiswa zaman sekarang.

Jika dulu sukses berarti turun ke jalan dan menjadi tokoh publik, kini mungkin berarti lulus cepat dan punya start-up.

“Kalau definisinya beda, ya tidak bisa dipaksakan,” ucapnya ringan. “Tapi teknologi mestinya bisa digunakan untuk memperkuat gerakan, bukan malah menumpulkannya,” lanjut lulusan S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya itu.

>> Baca Selanjutnya