Kesehatan
News
Unhas Speak Up

Tantrum, Speech Delay, hingga ADHD: Mana yang Normal, Mana yang Butuh Konsultasi?

UNHAS.TV – Kekhawatiran orang tua tentang tumbuh kembang anak sering muncul ketika anak mengalami tantrum, keterlambatan bicara (speech delay), atau terlihat hiperaktif.

Apakah hal tersebut masih dalam kategori normal, atau justru tanda awal gangguan perkembangan yang butuh perhatian khusus?

Pertanyaan ini menjadi fokus pembahasan dalam siniar Unhas Speak Up edisi Rabu (17/9/2025) yang menghadirkan dr. Martira Maddepungeng, Sp.A(K), Dokter Anak Konsultan Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial.

Dokter Martira menekankan pentingnya deteksi dini, skrining perkembangan, serta stimulasi sejak usia emas (0–5 tahun) sebagai kunci optimalisasi tumbuh kembang anak.

“Usia emas adalah periode pertumbuhan otak yang sangat cepat. Stimulasi sensorik seperti melihat, mendengar, hingga interaksi sosial di masa ini akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak di kemudian hari,” ujar dr. Martira.

Ia menambahkan, penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rentan mengalami keterlambatan bicara dibandingkan anak perempuan karena pematangan area otak yang berhubungan dengan bahasa lebih lambat.

Tantrum sering kali menjadi keresahan bagi orang tua. dr. Martira menjelaskan bahwa tantrum pada balita hingga usia 4 tahun masih dianggap wajar jika terjadi sesekali dan dalam durasi singkat. Biasanya, hal ini muncul ketika keinginan anak tidak terpenuhi.

Namun, kondisi bisa disebut patologis bila tantrum berlangsung lebih lama, terjadi berulang kali hingga 3–4 kali sehari, atau sulit ditenangkan.

“Tantrum yang terlalu sering bisa menjadi tanda adanya masalah lain. Respons orang tua yang tidak sesuai juga bisa memperparah situasi, sehingga penting bagi orang tua memahami cara menghadapinya dengan tenang,” jelasnya.

Keterlambatan bicara adalah masalah yang cukup umum ditemui. Di banyak kasus, hal ini dikaitkan dengan autisme, Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), atau stimulasi yang kurang, termasuk penggunaan gawai secara berlebihan.

“Anak-anak belajar bicara dari interaksi langsung. Kalau anak lebih banyak berhadapan dengan layar gawai daripada berkomunikasi dengan orang tua, risikonya tinggi mengalami speech delay,” ungkapnya.

Banyak orang tua menganggap perilaku anak yang terlalu aktif sebagai ADHD. dr. Martira meluruskan bahwa diagnosis ADHD umumnya baru dapat ditegakkan setelah anak berusia tiga tahun.

“ADHD bukan berarti anak nakal atau tidak disiplin. Anak dengan ADHD kesulitan mengendalikan diri dan kurang mampu memikirkan konsekuensi sebelum bertindak. Inilah yang membedakan mereka dengan anak yang memang aktif secara alami,” terangnya.

Dokter Martira menegaskan, peran sistem kesehatan sangat penting dalam mendeteksi dini masalah tumbuh kembang. Mulai dari buku KIA yang diberikan sejak anak lahir, skrining di Puskesmas, hingga pemeriksaan lanjutan di rumah sakit.

Intervensi yang efektif membutuhkan pendekatan multidisiplin serta disesuaikan dengan kondisi masing-masing anak. Faktor lingkungan, pola asuh, hingga kondisi sosial ekonomi juga sangat menentukan.

Ia mengingatkan bahwa dukungan emosional orang tua, gaya pengasuhan, hingga faktor sosial ekonomi sangat memengaruhi lintasan perkembangan anak.

“Deteksi dini dan intervensi tepat waktu adalah kunci. Orang tua harus peka dan aktif memantau perkembangan anak mereka,” pungkas dr. Martira.

(Rahma Humairah / Unhas.TV)