Di tanah yang jauh dari kampung halaman, Hanadi Y.M. Shaheen membuktikan bahwa tekad dan kerja keras bisa menembus segala batas. Ia tak sekadar lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, tapi menjadi yang terbaik.
***
Rabu siang, 9 April 2025. Langit Makassar cerah, angin sejuk berembus pelan dari arah barat. Di aula Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, ratusan toga hitam berbaris rapi.
Di antara deretan itu, satu nama dipanggil dengan penekanan khusus: dr. Hanadi Y.M. Shaheen. Mahasiswi asal Palestina itu melangkah ke panggung, menerima penghargaan sebagai Lulusan Terbaik Program Profesi Dokter FK Unhas, dengan IPK nyaris sempurna: 3,89 dan predikat cum laude.
Tepuk tangan menggema. Beberapa dosen berdiri memberi hormat. Bagi FK Unhas, momen ini bukan sekadar seremoni tahunan. Ini adalah sejarah. Hanadi menjadi mahasiswa pertama dari Palestina yang menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran dan Profesi di kampus merah marun itu.
Dalam sejarah panjang fakultas ini, nama Hanadi akan selalu terpatri sebagai simbol dari harapan yang tak padam.
“Saya tidak pernah menyangka bisa sampai sejauh ini,” kata Hanadi lirih, dalam bahasa Indonesia yang kini ia kuasai dengan fasih. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan cerita panjang: tentang perjuangan, rindu rumah, dan tekad tak kenal lelah.
Dua tahun masa profesi dijalaninya dengan penuh disiplin. Ia menembus ruang-ruang klinik dengan semangat yang nyaris tak pernah surut. “Hanadi itu tidak hanya cerdas, tapi punya daya tahan mental luar biasa. Ia benar-benar tahu kenapa ia ingin menjadi dokter,” ujar seorang dosennya.
Dekan FK Unhas, Prof. Dr. dr. Haerani Rasyid, tak menyembunyikan kebanggaannya. Dalam pidatonya, ia menyebut keberhasilan Hanadi sebagai bukti bahwa pendidikan bisa menjadi ruang perjumpaan lintas batas negara dan konflik.
“Keberhasilannya menunjukkan bahwa Unhas terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar dan berkontribusi di bidang kesehatan,” ujarnya.
Dalam sambutannya yang penuh haru, Hanadi mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada semua yang telah mendampinginya selama menempuh pendidikan di Indonesia.
“Saya sangat berterima kasih kepada dosen-dosenku, guru-guruku, dan semua orang yang bekerja di Universitas Hasanuddin yang tidak pernah berhenti memberikan pertolongan dan dukungan kepada saya,” ucapnya dengan suara bergetar.
Tapi perjalanan Hanadi belum usai. Di balik toga yang dikenakannya hari itu, tersimpan cita-cita yang lebih besar. Ia berharap bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis, agar kelak dapat memberikan kontribusi yang lebih besar—khususnya bagi masyarakat di tanah kelahirannya, Palestina.
Ia tahu, menjadi dokter di negeri yang porak-poranda bukan hanya soal ilmu dan keterampilan, tapi juga tentang daya juang dan keberanian untuk hadir di tengah luka yang tak kunjung sembuh.
Kelak, Hanadi akan kembali ke negerinya, menjadi tenaga medis di tempat yang sangat merindukan kehadiran penyembuh. Ia akan menjejakkan langkah di kamp-kamp pengungsian, rumah sakit darurat, atau klinik yang kekurangan alat dan obat.
Sentuhan tangannya sebagai dokter diharapkan bisa menyelamatkan banyak orang—anak-anak yang kehilangan keluarga, ibu-ibu yang melahirkan di tengah konflik, atau lelaki tua yang menggenggam harapan terakhir.
Dari Makassar, Hanadi tidak hanya membawa gelar dokter. Ia membawa ilmu, cinta, dan semangat untuk menyembuhkan dunia. Satu pasien demi satu, satu nyawa demi satu, ia akan memulai tugas mulianya—dari tempat di mana seorang dokter bukan hanya penyembuh, tapi juga penjaga harapan.