Program
Unhas Figure

Prof. Amiruddin: Sang Pattingalloang di Abad Modern

Oleh: Yusran Darmawan*

Karaeng Pattingalloang berdiri di tepi laut, menatap cakrawala. Di abad ke-17, ia adalah jembatan antara Makassar dan dunia. Ia membaca peta-peta Eropa, menguasai berbagai bahasa, dan memahami ilmu pengetahuan sebagai kekuatan. Baginya, dunia tak boleh sempit, tak boleh hanya sebatas gelombang yang berdebur di pesisir Makassar.

Lebih dari tiga abad kemudian, seorang anak Bugis bernama Ahmad Amiruddin menapaki jejaknya. Ia melangkah jauh—dari Sengkang ke Universitas Kentucky, dari laboratorium nuklir hingga ruang akademik internasional. Ilmu membawanya ke puncak, tetapi semakin tinggi ia mendaki, semakin kuat panggilan itu terdengar: panggilan untuk pulang.

BACA; Karaeng Pattingalloang: Di Bawah Langit yang Tak Terbatas

Seorang ilmuwan besar, Albert Einstein, pernah berkata, “Ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu buta.” Bagi Amiruddin, ilmu bukan sekadar pencapaian akademik, tetapi juga panggilan moral untuk berbakti kepada masyarakat.

Ketika ia telah menjadi ahli kimia nuklir—bidang yang masih asing di Indonesia saat itu—dan menempati posisi penting di Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) serta Universitas Kebangsaan Malaysia, kariernya cemerlang. Namun, jauh di dalam hatinya, ada keresahan.

Ia mengenang anak-anak muda di kampung halamannya yang sulit mengakses pendidikan. Ia memikirkan petani dan nelayan yang bekerja keras tetapi tetap terjebak dalam kemiskinan struktural. Ilmu, seberapa tinggi pun, tak ada artinya jika tak kembali ke rakyat.

Maka, ia pulang. Dan sejarah mencatatnya bukan hanya sebagai ilmuwan, tetapi sebagai pemimpin perubahan.

Rektor yang Membangun Masa Depan

Sebagai Rektor Universitas Hasanuddin (1973–1983), Amiruddin tak sekadar mengelola, ia merevolusi. Saat itu, Unhas masih berdiri di Baraya—sempit, dengan fasilitas terbatas. Ia tahu kampus ini harus beranjak, harus bermimpi lebih besar.

Maka, ia memindahkannya ke Tamalanrea. Bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi lompatan besar menuju universitas riset. Di lahan 220 hektar, ia membangun laboratorium, perpustakaan, dan fasilitas akademik yang bisa menandingi universitas-universitas besar.

BACA: Jamaluddin Jompa: Anak Laut yang Kembali ke Samudera Ilmu

Namun, ia sadar, gedung saja tak cukup. Ilmu harus dibangun dari orang-orangnya. Ia mengirim dosen-dosen muda ke luar negeri—Amerika, Eropa, Jepang—agar mereka kembali dengan ilmu terbaik.

Seperti yang dikatakan Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.” Bagi Amiruddin, investasi terbesar bukanlah gedung, tetapi manusia.


>> Baca Selanjutnya