
Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Dr Anas Urbaningrum MSi. (dok unhas.tv)
Sejak beberapa tahun terakhir, Anas dikenal sebagai pendiri Partai Kebangkitan Nusantara (PKN)—partai baru yang mengusung semangat Nusantaraisme.
Sebuah filosofi bahwa Indonesia harus dikelola secara demokratis, setara antarwilayah, dan inklusif. “Jakarta harusnya berkoordinasi, bukan menginstruksikan,” katanya.
Ia mengkritik model pembangunan yang masih Jakarta-sentris dan tidak menghasilkan pertumbuhan yang menetes ke bawah.
“Di banyak daerah tambang, pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi tak mengangkat kesejahteraan masyarakat sekitar,” lanjut Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.
Terkait pendirian PKN --partai yang saat ini dijabatnya sebagai Ketua Umum, kata Anas, bukan alat balas dendam.
“Dendam terbaik adalah melakukan sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat,” katanya, menjawab sindiran yang menyebut partainya lahir dari luka masa lalu.
Ia lebih percaya pada takdir dan langkah ke depan. “Daun kering jatuh pun ada garis takdirnya,” ucapnya tenang.
Dari Unhas, untuk Indonesia
Di ujung perbincangan, Ketua Umum Pengurus Besar HMI pada kongres yang diadakan di Yogyakarta pada 1997 ini mengungkap kekagumannya pada Sulawesi Selatan dan Universitas Hasanuddin (Unhas).
“Sulsel itu pabrik tokoh. Pejam mata saja bisa ketemu orang hebat. Bahkan ketika ditanya siapa orang Sulsel yang ideal baginya, ia tak ragu menyebut, “Supratman. Itu nama nasional,” tutur doktor lulusan UGM ini.
Yang paling ia kagumi? Spirit orang Sulsel yang “menyala”—semangat Ewako. “Itu bukan cuma keberanian, tapi sikap. Pendirian. Siap ambil risiko. Kalau spirit itu mewarnai kebudayaan nasional, Indonesia akan hebat,” katanya.
Anas juga memberi apresiasi terhadap keberadaan Unhas TV. “Langkah istimewa. Tak banyak kampus punya TV sendiri, apalagi di era ketika televisi dianggap sunset,” ujarnya. Ia menilai TV kampus bisa menjadi kanal ekspresi sekaligus ruang pendidikan publik.
Dan untuk mahasiswa? “Jangan hanya tinggal di kampus,” pesannya. “Kalian juga punya rumah di kehidupan publik. Berani terlibat, meski lecet-lecet sedikit. Itu jauh lebih bermanfaat daripada mengurung diri.”
Dengan nada yang lembut tapi tegas, Anas Urbaningrum menutup perbincangan malam itu—dengan satu ajakan yang tak lekang waktu, jangan lupakan cita-cita reformasi.
Jangan puas hanya dengan status di media sosial. Turunlah, meski hanya satu langkah—demi Indonesia yang lebih baik. (*)