Mahasiswa
Unhas Story

Cerita di Balik Toga dan Biaya Wisuda Unhas Periode Oktober 2025, Harga Sebuah Kenangan

SENYUM MEREKAH. Tampak sejumlah peserta wisuda S1, S2, S3 Unhas Periode Oktober 2025 tersenyum merekah di sela acara wisuda yang dihelat di GOR JK Arenatorium, Senin (27/10/2025). Demi kebahagiaan dan kenangan, mereka mempersiapkan segalanya. (dok unhas.tv)

UNHAS.TV - Pagi itu, Senin (27/10/2025), sinar matahari yang terang menembus Gelanggang Olahraga (GOR) JK Arenatorium Universitas Hasanuddin. Suara langkah bersepatu dan kain kebaya yang bergesekan memenuhi pelataran gedung.

Di antara kerumunan toga hitam dan wajah-wajah penuh haru, ada kegembiraan yang bercampur dengan degup gugup. Dan di balik itu, ada cerita panjang tentang perjuangan dan pengorbanan yang tak sekadar akademik.

Universitas Hasanuddin kembali menggelar wisuda periode Oktober 2025 dan kali kedua venue perhelatan dipilihlah di GOR JK Arenatorium.

Lokasi ini menggantikan Baruga Andi Pangeran Pettarani --direnovasi untuk Pimnas 2025, yang selama puluhan tahun menjadi saksi kelulusan ribuan mahasiswa.

Perubahan lokasi ini disambut antusias, menghadirkan suasana baru sekaligus tantangan logistik bagi panitia dan para wisudawan.

GOR berkapasitas besar itu, biasanya dipenuhi sorakan suporter dan dentuman bola voli, kini berubah menjadi ruang sakral yang dipenuhi toga dan doa.

Di bawah gemerlap lampu dan dekorasi merah marun khas Unhas, sebanyak 1.455 wisudawan resmi menggandeng gelar akademik—dari jenjang subspesialis, spesialis, doktor, magister, sarjana, hingga diploma.

Namun, di balik senyum dan kilauan kamera, ada cerita lain yang tak kalah menarik: pengeluaran besar demi tampil sempurna di hari kelulusan.

Bagi banyak wisudawan, momen wisuda bukan sekadar seremoni akademik. Ia adalah ritual peralihan dari dunia kampus menuju fase baru kehidupan.

Ritual Ekonomi dan Emosi

Maka, tak heran jika mereka berupaya tampil sebaik mungkin, seolah seluruh perjuangan bertahun-tahun layak dirayakan dalam satu hari penuh cahaya.

“Totalnya bisa sampai satu juta rupiah,” ujar Nur Amalia Syahrir, wisudawan Fakultas Hukum, sambil tersenyum malu. “Mulai dari make up, kebaya, sampai aksesori kecil. Semua harus rapi, karena momen ini tidak akan terulang.”

Nur Amalia Syahrir, wisudawan Fakultas Hukum peserta Wisuda Unhas Periode Oktober 2025. (dok unhas tv/am syafrizal)


Amalia, seperti banyak wisudawan perempuan lainnya, mempersiapkan segalanya sejak seminggu sebelumnya. Ia memesan jasa rias di dekat kosnya, menyewa kebaya modern dengan nuansa marun dan emas, hingga memesan fotografer pribadi untuk mengabadikan detik-detik pengalungan medali.

“Walaupun lokasinya di GOR, euforianya tidak kalah dari Baruga,” katanya. “Mungkin justru terasa lebih megah, karena ruangannya besar dan cahaya masuk lebih indah untuk foto.”

Di sudut lain GOR, Virgonia Putri Banti, wisudawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, tengah merapikan toga hitamnya. Di balik ketenangan wajahnya, ada kisah tentang perhitungan matang antara rasa syukur dan beban pengeluaran.

“Sempat saya pikir untuk tidak ikut wisuda, karena biayanya lumayan besar,” ujar Virgo jujur. “Tapi setelah teman-teman bilang ini momen terakhir kita bareng, saya akhirnya ikut juga.”

Virgo mnegaku demi wisuda kali ini, ia mengeluarkan biaya rias sebesar Rp370 ribu, menyewa jas dan dasi baru seharga lebih dari Rp600 ribu, serta membayar jasa fotografer kampus Rp200 ribu.

“Kalau dihitung-hitung, hampir sejuta juga,” ujarnya sembari tertawa kecil. “Tapi semua itu terbayar ketika orang tua datang dan melihat saya naik panggung. Itu momen yang tidak bisa dibeli,” lanjutnya.


Virgonia Putri Banti, wisudawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis peserta Wisuda Unhas Periode Oktober 2025. (dok unhas tv/am syafrizal)


Bagi Virgo, wisuda bukan hanya akhir perjalanan kuliah, tetapi juga titik awal menuju kedewasaan. “Di balik biaya dan lelahnya persiapan, ada kebahagiaan yang tidak ternilai. Saya akhirnya bisa membahagiakan orang tua,” katanya.

GOR Jadi Galeri Rasa

Sehari sebelum acara dimulai, halaman GOR JK Arenatorium sudah mulai dipadati tenda, spanduk, dan dekorasi bunga. Panitia bekerja hingga malam, mengatur kursi ribuan tamu dan mempersiapkan tata suara yang megah.

Ketika hari H tiba, suasananya menyerupai festival keluarga besar. Di depan GOR, deretan fotografer berbaris menawarkan jasa kilat, sementara penjual bunga dan boneka memenuhi trotoar.

Di setiap sudut, terdengar seruan orang tua yang mencari anaknya, atau tawa teman-teman yang berfoto dengan latar “Wisuda Unhas 2025” berwarna merah mencolok.

Di atas panggung, Rektor Unhas memimpin prosesi kelulusan dengan khidmat. Nama demi nama dipanggil, dan sorak-sorai membahana setiap kali seorang anak melewati garis akhir perjuangan akademiknya.

Di langit-langit GOR, lampu sorot menyoroti wajah-wajah muda yang berkilau oleh air mata dan kebanggaan.

Perubahan lokasi ke GOR JK Arenatorium bukan sekadar soal teknis. Ia merefleksikan adaptasi Unhas terhadap dinamika kampus modern yang kian padat dan penuh aktivitas.

Meski berbeda dari suasana klasik Baruga, Arenatorium menawarkan ruang yang lebih besar, sistem pencahayaan yang modern, dan akustik yang lebih baik untuk prosesi massal.

Namun bagi para wisudawan, nilai sejati dari momen ini tidak terletak pada tempatnya, melainkan pada makna perjalanannya.

“Wisuda ini seperti mengulang kembali perjalanan saya selama empat tahun,” kata Amalia pelan. “Dari mahasiswa baru yang bingung, sampai akhirnya berdiri di sini dengan toga.”

Selama dua hari berturut-turut, 27–28 Oktober 2025, Unhas menggelar prosesi wisuda yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda. Momentum ini memberi makna simbolik: para lulusan muda Unhas kini siap mengabdikan ilmu mereka untuk bangsa, sebagaimana semangat para pemuda 1928.

Di akhir acara, para wisudawan saling berpelukan, sebagian masih memegang bunga, sebagian sibuk mencari fotografer untuk sesi terakhir sebelum toga dikembalikan. GOR JK Arenatorium, yang sehari-hari bergema oleh suara bola basket, kini bergema oleh tepuk tangan dan tangisan haru.

Di antara keramaian itu, satu hal terasa jelas: wisuda bukan sekadar seremonial akademik, melainkan perayaan atas waktu, perjuangan, dan pengorbanan—termasuk pengeluaran yang tak sedikit—demi satu kata: lulus.

(Zulkarnaen Jumar Taufik / Andi Muh. Syafrizal / Unhas TV)