News
Trending

“Creative Destruction” di Balik Nobel Ekonomi 2025




Jika Joel Mokyr menggali masa lalu untuk memahami akar kemajuan, tentang bagaimana percikan ide kecil dari bengkel-bengkel Eropa melahirkan mesin uap, pabrik tekstil, dan ekonomi modern, maka Philippe Aghion dan Peter Howitt menulis peta bagi masa depan: bagaimana menjaga api inovasi agar tak padam di tengah dunia yang terus berubah.

Mereka melihat pertumbuhan ekonomi bukan sebagai garis lurus menuju kemakmuran, melainkan sebagai kurva bergelombang yang diisi oleh krisis, pembaruan, dan kebangkitan.

Dalam teori creative destruction, inovasi dipahami sebagai kekuatan ganda: ia membangun sekaligus meruntuhkan. Setiap kemajuan membawa dua sisi yang tak terpisahkan, harapan dan kehilangan.

Ketika mobil pertama kali diciptakan, ia bukan hanya simbol kebebasan dan kemajuan, tetapi juga lonceng kematian bagi ribuan kusir dan pengrajin kereta kuda. Begitu pula ketika komputer mulai menggantikan mesin tik, atau ketika algoritma menggantikan pekerjaan manusia di pabrik dan kantor.

Namun bagi Aghion, Howitt, dan Mokyr, kekosongan yang muncul dari kehancuran itu bukanlah akhir, melainkan ruang bagi sesuatu yang baru untuk tumbuh.

Setiap kali satu profesi punah, profesi lain lahir; setiap kali sebuah industri runtuh, industri baru muncul dengan logika yang lebih efisien. Dalam pandangan mereka, kemajuan tidak pernah datang tanpa harga, tetapi juga tidak pernah berhenti mencari bentuk baru.

Seperti siklus kehidupan, ekonomi yang sehat harus berani melewati fase kematian untuk menumbuhkan kehidupan baru.

Mereka menyebutnya sebagai dinamika kemajuan yang penuh luka. Inovasi menuntut keberanian untuk berpisah dengan masa lalu, untuk mengorbankan kenyamanan demi masa depan yang belum pasti.

Bagi para ekonom ini, kemakmuran sejati tidak lahir dari stabilitas yang tenang, tetapi dari kemampuan manusia menghadapi disrupsi dengan kepala dingin dan pikiran terbuka.

Dalam konteks dunia hari ini, di mana kecerdasan buatan, robotika, dan otomasi perlahan mengubah lanskap kerja, pesan mereka terasa seperti peringatan sekaligus dorongan moral.

Bahwa tugas manusia bukanlah menolak perubahan, tetapi mengarahkan perubahan itu agar tetap berpihak pada martabat manusia. Dalam logika creative destruction, kehancuran yang dikelola dengan bijak justru melahirkan tatanan baru yang lebih adil dan produktif.

Refleksi Zaman: Teknologi dan Kemanusiaan

Penghargaan Nobel tahun ini terasa relevan dalam dunia yang sedang bergulat dengan kecemasan tentang robot yang mengambil alih pekerjaan, tentang globalisasi yang mulai mundur, dan tentang masa depan yang terasa tidak pasti.

Namun, seperti yang pernah ditulis Mokyr, “Selama manusia masih ingin tahu, masih ingin memahami, maka masa depan akan tetap terbuka.”

Aghion menutup wawancaranya dengan nada peringatan sekaligus harapan. Ia menyerukan agar Eropa tidak membiarkan hanya Amerika dan China menjadi pemimpin teknologi dunia. “Kita harus berani berinovasi sendiri,” katanya.

Dari ruang-ruang universitas hingga ruang konferensi di Stockholm, pesan mereka bergema sama: pertumbuhan ekonomi tidak ditentukan oleh angka, tetapi oleh imajinasi manusia.

Mungkin itulah yang membuat Nobel tahun ini terasa lebih dari sekadar penghargaan ilmiah. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap algoritma dan mesin, ada hal yang lebih penting: keberanian untuk bermimpi dan menciptakan dunia yang lebih baik.