Oleh: Khusnul Yaqin dan Yani Sodiqah*
Progresivitas ilmuwan di negeri Tirai Bambu, Tiongkok, memang perlu diacungi jempol. Sementara kita masih berkutat meneliti bahaya mikroplastik konvensional, para peneliti Tiongkok sudah bergerak meneliti dampak negatif dari apa yang dibanggakan sebagai plastik biodegradabel (plastik yang bisa terurai secara hayati) sebagai pengganti bahan plastik konvensional.
Penelitian-penelitian yang muncul dari lembaga riset Tiongkok ini tidak hanya menambah lanskap baru dalam studi ekotoksikologi plastik, tetapi juga memperlihatkan bahwa perkembangan teknologi material selalu membawa konsekuensi ekologis yang sering kali tidak diperkirakan. Di saat banyak negara bergegas mengadopsi plastik biodegradabel sebagai jawaban tunggal atas persoalan sampah plastik, para ilmuwan di sana justru membuka bab baru: bahwa tidak semua solusi hijau benar-benar hijau dalam skala ekologis yang kompleks. Dengan kata lain, inovasi material tidak boleh dilepaskan dari pengetahuan tentang respons biologis yang terjadi dalam mikrohabitat baru yang mereka ciptakan.
Krisis Resistensi Antibiotik di Sistem Akuakultur
Penelitian yang diketuai oleh Shiyu Xie dari School of Environmental Science and Engineering, Hainan University, berjudul “Biodegradable Microplastics Amplify Antibiotic Resistance in Aquaculture: A Potential One Health Crisis from Environment to Seafood” (2025), mengungkap bahaya antibiotic resistance genes (ARGs) di dalam sistem budidaya ikan nila.
Bagi Shiyu Xie et al. (2025), sistem budidaya ikan yang tidak ramah lingkungan merupakan reservoir bagi ARG dan mikroplastik yang mengancam keamanan pangan serta kesehatan manusia. ARG bukan sekadar fenomena genetik yang terjadi dalam skala mikroskopis; ia adalah simbol krisis global yang disebabkan oleh kombinasi pemakaian antibiotik yang berlebihan, kondisi lingkungan yang tercemar, serta interaksi antarmaterial dan mikroba dalam sistem budidaya.
Di ruang budidaya intensif yang penuh pakan organik, sisa metabolit, dan kepadatan organisme tinggi, mikroplastik—baik konvensional maupun biodegradabel—menjadi infrastruktur ekologis baru bagi penyebaran gen resisten. Xie dan timnya menegaskan bahwa jika akuakultur terus berjalan tanpa memperhitungkan dinamika ekologis mikroplastik, maka industri pangan justru menjadi jalur transmisi resistensi antibiotik yang mengalir dari lingkungan ke piring manusia.
Ironi Ekologis Plastik Biodegradabel
Penelitian ini mengungkap sebuah ironi ekologis yang datang dari bahan yang selama ini dianggap solusi: plastik biodegradabel. Dalam ruang budidaya ikan—lingkungan yang seharusnya menjadi jembatan pemenuhan pangan—mikroplastik justru berfungsi sebagai laboratorium evolusi yang efektif bagi bakteri dan virus untuk membentuk serta menyebarkan resistensi antibiotik.
Plastik yang terfragmentasi melalui degradasi fisik, kimia, dan biologis menciptakan permukaan mikro yang stabil, kaya nutrisi, dan penuh peluang bagi mikroorganisme untuk bertukar gen resistensi. Dalam istilah ekologi mikroba, permukaan plastik berperan sebagai novel ecological niche, yaitu habitat yang sebelumnya tidak ada di alam tetapi kini menjadi panggung terbuka bagi bakteri oportunistik, patogen akuatik, hingga mikroorganisme pembawa plasmid ARG yang sangat berbahaya.
Fenomena plastisphere—dunia mikro di permukaan plastik—menjadi semakin kompleks ketika plastik tersebut biodegradabel, karena proses degradasinya justru menambah sumber karbon organik yang mempercepat pertumbuhan dan interaksi antar mikroba.
PBAT dan Risiko Ekologis yang Lebih Besar
Menariknya, PBAT (Poly-Butylene Adipate-Co-Terephthalate), plastik yang dipromosikan sebagai ramah lingkungan, memperlihatkan dampak yang lebih agresif dibandingkan bahan plastik konvensional. Biofilm pada PBAT tumbuh lebih tebal, interaksi mikroba lebih intens, dan gen resistensi berbahaya lebih melimpah.
Dalam logika ekologis, degradasi yang lebih cepat bukan berarti risiko lebih kecil. Justru peningkatan pelepasan oligomer memperkaya makanan bagi mikroba, mempercepat dinamika komunitas, dan memperkuat tekanan seleksi. Yang biodegradabel menjadi lebih “biokompatibel” bagi proses-proses yang memperkuat resistensi.
Kecenderungan ini sejalan dengan temuan di beberapa studi internasional yang menunjukkan bahwa plastik biodegradabel, karena sifat alaminya yang mudah diurai, melepaskan senyawa-senyawa kecil kaya karbon yang meningkatkan respirasi mikroba dan memperluas keanekaragaman mikroba heterotrofik dalam biofilm. Dalam konteks ini, PBAT bukan lagi bahan inert, melainkan nutrisi ekologis bagi komunitas mikroba yang mampu menjadi hotspot evolusi ARG.

Ilustrasi ini menggambarkan alur dampak mikroplastik biodegradabel dalam sistem budidaya ikan. Potongan plastik yang terurai menciptakan habitat bagi mikroba pembawa gen resistensi antibiotik (ARGs), yang kemudian masuk ke tubuh ikan dan berpotensi menimbulkan ancaman bagi kesehatan manusia melalui rantai pangan. Konsep ini menegaskan pentingnya pendekatan One Health dalam pengelolaan lingkungan akuakultur.
Perspektif One Health
Dari perspektif ekotoksikologi dan One Health, konstruksi risiko yang ditemukan penelitian ini sangat jelas. Sedimen dan plastisfer berperan sebagai gudang resistensi, sementara ikan menjadi simpul terakhir yang menyalurkan ARG itu ke tubuh manusia.
Kita menyaksikan bagaimana sistem produksi pangan dapat menjadi perpanjangan dari krisis resistensi antibiotik global. ARG yang menempel pada mikroplastik dapat masuk ke saluran pencernaan ikan, berpindah melalui kontak epitel usus, dan bahkan terakumulasi dalam jaringan tertentu yang kemudian dikonsumsi manusia.
Dalam sistem One Health, batas antara ekosistem, hewan, dan manusia tidak terpisah secara absolut; ketiganya berada dalam jejaring yang saling memengaruhi. Dengan demikian, mikroplastik biodegradabel yang dianggap tidak berbahaya bagi ikan sebenarnya memainkan peran penting dalam membentuk jalur penularan resistensi antibiotik lintas kingdom—dari bakteri lingkungan ke patogen ikan, lalu ke mikrobioma manusia.
Tantangan bagi Kebijakan Lingkungan
Dalam konteks kebijakan, temuan ini menantang asumsi bahwa solusi teknologi sederhana—misalnya mengganti plastik dengan versi biodegradabel—cukup untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya, penelitian ini menegaskan bahwa bahan baru menciptakan dinamika ekologis baru yang mungkin jauh lebih rumit dan berbahaya.
Kebutuhan paling mendesak adalah pengelolaan berbasis ekologi evolusioner: memahami bagaimana organisme, material, dan tekanan lingkungan berinteraksi dalam jangka panjang. Kebijakan lingkungan tidak bisa lagi hanya menilai material dari kemampuannya terurai atau tidak, tetapi harus menilai bagaimana material itu memengaruhi lintasan evolusi mikroba dan patogen dalam sistem budidaya.
Pendekatan berbasis risiko ekologis jangka panjang harus menjadi standar baru dalam penilaian material, terutama yang dilepas ke lingkungan perairan. Pemerintah dan industri perlu mempertimbangkan bahwa solusi “cepat” seperti substitusi material tanpa pemahaman ekologis dapat memperparah masalah yang coba mereka selesaikan.
Akuakultur tidak sekadar ruang produksi, tetapi titik di mana teknologi manusia, organisme akuatik, mikroba, dan polutan membentuk jaringan yang memengaruhi kesehatan manusia. Selama mikroplastik—apa pun jenisnya—menghadirkan ruang hidup baru bagi bakteri untuk mempercepat pertukaran gen, kita tidak sedang menyelesaikan masalah, tetapi memperluasnya.
Dari Solusi Hijau ke Ironi Ekologis
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa ekosistem budidaya modern adalah sistem hibrida: kombinasi antara proses biologis alami dengan artefak buatan manusia. Dalam sistem seperti ini, setiap penambahan unsur baru—termasuk plastik biodegradabel—dapat mengubah aliran energi, interaksi trofik, hingga pola kompetisi mikroba.
Penelitian ini menjadi alarm bahwa “solusi ramah lingkungan” tidak boleh hanya dinilai dari degradasinya, tetapi dari bagaimana ia mengubah tekanan seleksi di dalam ekosistem. One Health menuntut kita membaca risiko bukan hanya dari sudut pandang manusia atau lingkungan, tetapi dari relasi tak terlihat di antara keduanya.
Plastisfer adalah bukti betapa rapuhnya relasi itu, mudah terganggu oleh inovasi teknologi yang tidak disertai pemahaman ekologis mendalam. Sistem ekologis ibarat jaringan halus yang setiap simpulnya terikat oleh ketergantungan fungsional. Ketika sebuah material baru masuk—meskipun dengan label “biodegradabel”—ia mengubah tekanan seleksi, memodifikasi nis mikroba, dan membuka ruang bagi jalur evolusi baru.
Tanpa pemahaman menyeluruh, kita justru menciptakan ironi ekologis: bahan yang dirancang untuk memperbaiki lingkungan malah mempercepat proses yang membahayakan kesehatan global.
Catatan untuk Indonesia
Temuan ini memberikan pelajaran penting bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sedang giat mempromosikan plastik biodegradabel berbasis pati, PBAT, atau PLA (Polylactic Acid) sebagai solusi ramah lingkungan. Tanpa riset mendalam mengenai perilaku ekologisnya dalam perairan tropis—yang lebih hangat, kaya nutrisi, dan cepat mendorong pertumbuhan biofilm—risikonya bisa jauh lebih besar dibandingkan di perairan subtropis.
Di negara tropis, tingkat dekomposisi plastisfer dan laju metabolisme mikroba jauh lebih cepat, yang berarti tekanan seleksi dan percepatan evolusi ARG dapat terjadi dalam skala waktu yang lebih pendek. Ini bukan alarm retoris, tetapi peringatan ilmiah yang harus ditindaklanjuti melalui riset berbasis akuakultur lokal, microbiome analysis, serta kajian biofilm pada kondisi lingkungan Indonesia.
Kesimpulan
Pada akhirnya, penelitian Shiyu Xie dan koleganya membuka mata kita bahwa mikroplastik biodegradabel bukan sekadar barang yang lebih mudah terurai di alam, melainkan entitas ekologis yang mampu mengubah arah evolusi mikroorganisme di dalam sistem akuakultur. Jika tidak dikelola secara hati-hati, ia berpotensi menjadi katalis dari krisis resistensi antibiotik global.
Dengan demikian, solusi yang kita pilih hari ini harus diuji bukan hanya dari narasi “keberlanjutan” yang dipromosikan produsen, tetapi dari pemahaman mendalam atas dinamika ekologis yang tercipta. Inilah esensi One Health: bahwa kesehatan manusia tidak mungkin dipisahkan dari kesehatan ekosistem yang kita ubah melalui teknologi—termasuk teknologi yang kita kira ramah lingkungan.
* Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin dan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia (UMI), Makassar.
Prof Khusnul Yaqin membahas bahaya mikroplastik biodegradabel (PBAT) dalam sistem budidaya ikan. Penelitian menunjukkan bahwa material ini dapat memperparah resistensi antibiotik (ARGs) di perairan, karena permukaannya menjadi hotspot efektif bagi evolusi mikroba, menimbulkan risiko serius bagi keamanan pangan dan perspektif One Health.








