
Di sisi lain, parade ini juga menampilkan rudal hipersonik terbaru, senjata generasi baru yang bisa melesat lebih dari lima kali kecepatan suara dan bermanuver secara lincah di udara.
Para analis militer menilai, rudal jenis ini sulit dicegat sistem pertahanan mana pun, termasuk milik Amerika Serikat. Dengan memperlihatkan teknologi ini, Beijing mengirim sinyal bahwa mereka telah memasuki gelanggang persaingan teknologi militer paling mutakhir.
Tidak hanya di darat dan udara, Tiongkok juga memamerkan drone bawah laut dan kapal nirawak. Senjata ini menandai babak baru perang maritim: tak lagi sekadar pertempuran kapal dengan kapal, melainkan perburuan di kedalaman samudra dan penguasaan jalur laut melalui teknologi otonom.
Drone bawah laut berpotensi melacak kapal selam lawan, mengganggu komunikasi, hingga membawa muatan eksplosif.
Pesawat tempur nirawak (drone tempur) pun melayang di atas Tiananmen, memperlihatkan kecanggihan sistem udara tanpa awak. Dengan kemampuan terbang jauh, menyerang target secara presisi, bahkan beroperasi dalam formasi swarm, senjata ini memperluas daya jangkau militer Tiongkok tanpa harus mengorbankan pilot.
Bagi banyak pengamat, semua itu bukan sekadar pameran alat tempur. Parade ini adalah bahasa simbolis: Tiongkok ingin menegaskan bahwa mereka bukan hanya kekuatan ekonomi, tetapi juga kekuatan militer yang siap menandingi, bahkan menantang, dominan Amerika di Asia Pasifik dan mungkin dunia.
Dunia yang Terbelah
Pesan Xi tak dibiarkan menggema sendiri. Dari Washington, Donald Trump langsung merespons lewat Truth Social. Ia menuduh Xi mengabaikan peran Amerika dalam membantu Tiongkok melawan Jepang semasa perang.
Dengan nada sinis, Trump menulis: “Sampaikan salam hangat saya untuk Putin dan Kim Jong-un, saat kalian bersekongkol melawan Amerika Serikat.”
Kontras itu terasa nyata. Di Beijing, Xi menegaskan tekad untuk mengubah sistem internasional sesuai kepentingan Tiongkok. Di Barat, terutama Washington, hal itu dilihat sebagai ancaman terhadap tatanan global pascaperang yang dijaga Amerika.
Bagi Xi dan Putin, kemenangan di Perang Dunia II memang mahal, tetapi belum tuntas. Masih ada “kekuatan hegemonik” yang dianggap ingin menahan mereka dari posisi sah di panggung dunia.
Dengan membangkitkan memori perang, mereka berharap generasi baru kebal terhadap nilai-nilai Barat sekaligus menerima tatanan dunia baru yang mereka impikan.
Ryan Hass, pengamat dari Brookings Institution, menyebut parade ini sebagai cara Xi meneguhkan posisi Tiongkok. “Bagi Xi, kehadiran para pemimpin asing di Beijing adalah validasi bahwa langkahnya menuju status kekuatan besar semakin nyata,” ujarnya.
Panggung Global Baru
Parade ini bukan sekadar peringatan sejarah, melainkan proyeksi masa depan. Dengan rudal hipersonik baru, drone otonom, dan pasukan disiplin, Tiongkok ingin menunjukkan bahwa mereka bukan lagi bangsa yang bisa dipermainkan.
Di bawah langit Tiananmen, Xi merajut masa lalu dengan ambisi masa depan: dari korban invasi, menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan. Pesan itu jelas. Tiongkok tak akan pernah lagi membiarkan dirinya diremehkan.
Bagi Indonesia, parade ini memiliki gema tersendiri. Beredar kabar bahwa Prabowo akan menandatangani pembelian 42 jet tempur J-10, yang kerap dijuluki “Rafale Killer.”
Di tanah air, situasi ekonomi dan politik masih penuh tantangan. Namun, kehadiran Prabowo di Beijing seakan mengirim sinyal: Indonesia pun tengah bersiap memperkuat diri menghadapi dunia yang makin penuh gejolak.