
Timur Tengah, kata Agus, adalah kawasan yang tidak pernah sepenuhnya bersatu—baik secara etnis, mazhab, maupun kepentingan geopolitik. Iran yang beridentitas Persia dan mayoritas Syiah berada dalam posisi berbeda dari mayoritas negara Arab yang Sunni.
“Tapi meskipun posisi politik mereka beragam, secara moral, banyak dari mereka masih mendukung Palestina,” ujarnya.
Lantas, apakah konflik ini bisa menyulut Perang Dunia Ketiga?
Tak sedikit yang menyebutnya demikian. Media sosial dipenuhi spekulasi, opini publik terpolarisasi. Tapi Agus menyodorkan analisis yang lebih jernih: kemungkinan terjadinya perang dunia memang ada, namun tidak sebesar yang dikhawatirkan.
“Kalau dalam kalkulasi saya, kemungkinannya sekitar 10–20 persen,” ujarnya. “Banyak orang melihat pola sejarah yang mirip dengan Perang Dunia Kedua: dari narasi rasial, ekspansi, hingga operasi militer yang tiba-tiba. Tapi situasi geopolitik hari ini jauh lebih kompleks dan saling menahan.”
Ia menyebut satu istilah penting: balance of fear. Ketakutan kolektif atas kehancuran total justru menjadi penahan terbesar konflik global. “Semua negara tahu, kalau perang dunia benar-benar terjadi, ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal hancur bersama.”
Meski demikian, ancaman tetap ada. Terutama jika konflik terus berlangsung tanpa arah penyelesaian. “Kalau Iran menutup Selat Hormuz, harga energi dunia melonjak. Inflasi naik, dan krisis global bisa muncul. Perang global mungkin tidak terjadi. Tapi efeknya bisa sampai ke meja makan kita,” kata Agus.
Lalu bagaimana mencegah semua ini? Agus tak berharap banyak pada PBB. “Setiap resolusi yang merugikan Israel diveto oleh AS. Itu realitas yang sulit ditembus.” Namun ia menyimpan harapan pada kekuatan warga sipil dan narasi.
“Media sosial adalah medan perang baru. Jika kita ikut menyebarkan narasi damai, kita ikut membangun dunia yang lebih baik. Tapi jika kita menyebar kebencian, kita sedang menyiram api.”
Dan sebagai penutup, Agus melontarkan gagasan ekstrem yang menggelitik: “Jika dunia dulu bisa menghadirkan Israel ke Timur Tengah melalui proyek kolonialisme modern, mungkinkah dunia juga bisa merealokasi Israel ke tempat yang lebih cocok? Misalnya ke Florida atau bagian Jerman yang pernah memicu eksodus Yahudi. Tidak ada yang mustahil jika dunia sungguh menginginkan perdamaian.”
Kata-katanya menggema lama setelah tayangan selesai. Perang tak selalu terjadi karena ledakan pertama, tapi karena diam panjang orang-orang yang tahu harus menghentikannya. Kini, pertanyaannya: apakah kita masih ingin tinggal diam?