UNHAS.TV - Kebijakan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang baru, Purbaya Yudi Sadewa, yang mengucurkan dana Rp200 triliun kepada Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menuai perhatian luas.
Dana pemerintah yang sebelumnya disimpan di Bank Indonesia itu kini ditempatkan di sejumlah bank negara, antara lain BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan BSI.
Kebijakan yang disebut-sebut sebagai langkah berani di awal masa jabatannya ini menjadi topik hangat dalam program siniar Unhas Speak Up yang ditayangkan UnhasTV.
Acara tersebut menghadirkan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr H Muhammad Asdar SE MSi CWM, untuk membedah strategi dan dampaknya bagi perekonomian nasional.
Menurut Prof. Asdar, penempatan dana di bank-bank Himbara bukan tanpa alasan. Bank-bank milik negara ini memiliki jangkauan hingga ke pelosok desa sehingga diyakini mampu menyalurkan program-program pemerintah secara lebih merata.
“Tujuan utama Himbara adalah agar program negara bisa sampai ke desa-desa. Misalnya bantuan sosial atau program keluarga harapan, itu biasanya disalurkan lewat bank-bank ini,” jelasnya.
Namun ia menegaskan, efektivitas kebijakan ini bergantung pada ketepatan sasaran. “Ini langkah bagus, tapi syaratnya jelas: harus tepat sasaran," ujarnya.
"Jangan sampai dana sebesar ini justru dinikmati oleh usaha besar. Fokusnya harus pada usaha kecil, sektor produktif, dan masyarakat miskin,” tegas Prof. Asdar.
Ia menjelaskan bahwa dana Rp200 triliun tersebut dirancang untuk memperbesar likuiditas, atau ketersediaan uang beredar di masyarakat. Dengan likuiditas yang cukup, aktivitas produksi dan jasa diharapkan meningkat.
“Kas di Bank Indonesia hanya diam, tapi kalau dialihkan ke Himbara akan berputar di masyarakat. Itu yang disebut multiplier effect, efek ganda yang bisa menciptakan produksi baru, membuka lapangan kerja, hingga meningkatkan daya beli,” papar Asdar.
Walau begitu, ia mengingatkan ada rambu penting yang tidak boleh dilanggar. Dana tersebut tidak boleh digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN).
“Pesan khususnya jelas, Rp200 triliun ini tidak boleh masuk ke SBN. Harus benar-benar masuk ke sektor produktif seperti UMKM, perumahan, pangan, dan sektor riil lainnya,” ujarnya.
Meski memiliki potensi besar, Prof. Asdar mengingatkan risiko yang juga mengintai. Salah satunya adalah kredit macet atau non-performing loan. Risiko ini muncul ketika penyaluran dana tidak sesuai dengan kapasitas usaha penerimanya.
“Kalau orang yang usahanya kecil dikasih pinjaman terlalu besar, itu berbahaya. Misalnya mau jual pisang goreng tapi diberi ratusan juta, pasti macet. Makanya penting sekali ada pengawasan, terutama dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” katanya.
Ia juga menekankan perlunya penerapan prinsip tata kelola yang baik atau good corporate governance (GCG). Transparansi dan akuntabilitas harus dijalankan agar penyaluran dana benar-benar menyentuh yang berhak.
“Jangan sampai ada permainan orang dalam atau dana hanya berputar di kelompok besar. Kalau itu terjadi, salah lagi kita,” tambahnya.
Prof. Asdar menilai kebijakan ini berpotensi besar mendukung UMKM yang selama ini kesulitan mengakses permodalan. Dengan likuiditas yang bertambah, bunga pinjaman bisa lebih murah dan akses lebih mudah. Namun, ia mengingatkan pentingnya dukungan motivasi dan pendampingan.
“Ada dana tapi kalau tidak ada semangat berusaha, percuma. Makanya harus ada program yang memotivasi masyarakat, terutama sarjana muda yang masih menganggur, agar berani membuka usaha. Modal sekarang sudah ada, tinggal diarahkan dengan baik,” ujarnya.
Selain UMKM, Prof. Asdar menyoroti pentingnya prioritas untuk masyarakat miskin ekstrem, termasuk di Sulawesi Selatan. Ia menyebut masih ada lima kabupaten di provinsi ini yang masuk kategori miskin, bahkan ada yang tergolong sangat miskin.
“Bayangkan sudah 80 tahun merdeka, masih ada keluarga yang tidak punya rumah atau anaknya putus sekolah. Seharusnya stimulus ini diarahkan ke sana, agar mereka bisa naik kelas dan keluar dari kemiskinan,” tuturnya.
Lebih jauh, ia menguraikan pentingnya keseimbangan antara kebijakan moneter dan fiskal. Bank Indonesia, kata dia, berperan menjaga kestabilan moneter seperti suku bunga dan jumlah uang beredar, sementara pemerintah mengatur fiskal melalui pendapatan pajak dan belanja negara.
“Kalau uang beredar terlalu sedikit, ekonomi lesu. Kalau terlalu banyak, inflasi melonjak. Jadi harus ada keseimbangan. Nah, langkah ini sebenarnya memberi suntikan likuiditas tanpa membebani APBN karena hanya mengalihkan kas yang ada di Bank Indonesia,” jelasnya.
Namun, ia mengingatkan bahwa masalah terbesar bangsa bukan hanya di kebijakan, melainkan pada moral pelaksana.
“Program kita banyak, idenya bagus-bagus. Tapi kalau moralnya lemah, akhirnya salah sasaran. Jadi pengawasan moral ini sama pentingnya dengan pengawasan teknis,” tegasnya.
Meski menyoroti banyak catatan, Prof. Asdar tetap optimistis jika kebijakan ini dikelola dengan benar. “Potensinya sangat besar. Kalau dana ini benar-benar masuk ke sektor produktif," tegasnya.
"Kita akan lihat produksi meningkat, lapangan kerja bertambah, dan daya beli naik. Tapi semua itu syaratnya jelas: tepat sasaran, transparan, dan diawasi dengan baik,” pungkasnya.
(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)