UNHAS.TV – Di antara angka, statistik, dan rumus-rumus aktuaria yang menguras logika, ada satu suara yang lantang menggemakan semangat pemuda.
Ia adalah Dimas Maryanto – mahasiswa Ilmu Aktuaria Universitas Hasanuddin angkatan 2023 – yang kini menyandang gelar Duta Pemuda Kota Makassar 2024.
Di balik jas formal dan pin kehormatan, Dimas adalah seorang pemuda yang tahu persis bagaimana mengatur waktu antara kuliah, organisasi, dan advokasi.
"Setiap program kerja Duta Pemuda Kota Makassar, selalu ada rasa haru. Bukan hanya karena bangga, tapi karena sadar ternyata banyak pemuda di kota ini yang punya potensi, tapi ruang mereka selama ini sempit,” kata Dimas dalam podcast Unhas Story usai menyelesaikan ujian akhir semesternya.
Mahasiswa jurusan yang dikenal rumit dan menantang ini memang tidak biasa. Di kampus, ia bukan hanya dikenal lewat indeks prestasi, tapi juga mikrofon di tangan.
Dimas aktif sebagai MC, pembicara publik, mentor public speaking, hingga peraih beasiswa berbasis relawan, BK Scholarship. Semua itu ia lakukan dengan satu tujuan: memperluas dampak.
“Ilmu aktuaria saya pilih karena mencakup banyak bidang – matematika, statistik, ekonomi, bahkan programming. Tapi arah saya sejak awal memang ke entrepreneurship,” ujarnya.
Ketika sebagian besar mahasiswa aktuaria tenggelam dalam perhitungan risiko keuangan, Dimas justru membagi waktunya untuk membangun komunitas, berbicara di depan anak-anak SMA, hingga menyusun agenda kerja pemuda di tingkat kota.
Sejak semester satu, ia bergabung dengan Youth Ranger Indonesia dan komunitas relawan lainnya. Ia percaya, label duta bukan sekadar simbol, tapi alat legitimasi untuk menjangkau lebih banyak orang.
“Waktu belum punya titel apa-apa, saya sering turun ke masyarakat, tapi responsnya minim. Begitu jadi Duta Pemuda, semua jadi lebih terbuka. Ada kepercayaan di situ,” katanya.
Seleksi Duta Pemuda Kota Makassar 2024 ia ikuti bukan karena ambisi panggung atau selempang. Justru, kata Dimas, ia baru pertama kali mengikuti ajang sejenis.
“Tujuan saya ikut Duta Pemuda Makassar sederhana, memperluas dampak. Dan di Duta Pemuda, kami kerja kolektif, bukan individu,” ujarnya.
Komunitas Duta Pemuda Kota Makassar sendiri terdiri dari 30 pemuda dari 15 kecamatan berbeda. Tugas mereka bukan hanya seremonial. “Kami jadi perpanjangan tangan suara pemuda di wilayah masing-masing. Apa yang dibutuhkan, apa yang kurang, itu yang kami suarakan,” jelasnya.
Dimas juga dikenal punya strategi unik dalam membagi waktu. Ia sering menempatkan dirinya sebagai ketua atau koordinator. “Supaya saya bisa atur jadwal sesuai ritme saya. Dan kalau bentrok, saya bisa delegasikan. Delegasi itu kunci,” katanya sambil tersenyum.
Namun, di balik semua peran itu, Dimas tak menampik ada beban. Gelar "mahasiswa berprestasi" di departemennya – walau non-akademik – membawa ekspektasi tinggi dari teman-teman dan dosen.
“Kadang itu jadi tekanan. Tapi saya terjemahkan itu sebagai motivasi. Bahwa gelar itu bukan untuk dibanggakan, tapi jadi standar buat yang lain ikut bergerak,” ucapnya.
Kehidupan akademik tetap ia jalani serius, meski dengan cara yang fleksibel. “Saya bukan tipe kutu buku. Tapi saya maksimalkan waktu di kelas, sisanya saya bagi untuk kegiatan eksternal,” katanya.
Kini, di usianya yang belum genap 21 tahun, Dimas sudah berdiri di simpang jalan antara angka dan aksi. Di satu sisi, ia belajar soal risiko dan prediksi di kampus. Di sisi lain, ia menyusun narasi perubahan di komunitas pemuda.
Makassar, kota yang membesarkannya sejak SD hingga kuliah. Kota ini telah jadi laboratorium sosial tempat ia bereksperimen dengan idealisme dan kerja kolektif. “Buat saya, jadi duta itu bukan tentang berdiri paling depan, tapi memastikan tak ada yang tertinggal,” ujarnya.
Di tengah kesibukan akademik dan organisasi, Dimas masih membawa cita-cita pribadi, menjadi entrepreneur. “Ilmu aktuaria akan saya pakai sebagai dasar analisis risiko dalam bisnis,” katanya. “Saya ingin usaha yang berdampak, bukan sekadar cari untung.”
Dengan pemikiran matang dan penguasaan komunikasi publik yang kuat, ia sudah mulai menyiapkan diri. Bagi Dimas, pendidikan bukan sekadar gelar, tapi fondasi untuk membangun pengaruh dan membuka jalan bagi banyak pemuda yang sebelumnya tak punya suara.
Ia mengakui, sistem pendidikan tinggi kadang membuat mahasiswa kehilangan minat belajar matematika karena metode pengajarannya berbeda dengan di sekolah. Tapi ia berusaha bertahan.
"Dulu saya maksimalkan belajar di kelas. Tapi di kampus, harus banyak belajar sendiri. Sekarang saya masih adaptasi," katanya jujur.
Ada satu hal yang Dimas ulang terus dalam obrolan, yakni dampak. Bukan panggung, bukan pujian. Tapi dampak nyata. Ia tahu, jalan yang ia tempuh bukan jalan biasa. Tapi bagi Dimas, menjadi muda berarti punya energi untuk membuat perubahan, sekalipun kecil.
“Kalau kita sudah dipercaya jadi pemimpin, maka kita harus bisa menciptakan ruang, bukan hanya menempatinya,” ucapnya.
Berdampak dari Pendidikan hingga Kompetisi
>> Baca Selanjutnya