UNHAS.TV - Fenomena tak biasa menggegerkan publik beberapa waktu terakhir. Di Jakarta, hujan turun bukan hanya membawa air, tetapi juga partikel mikroplastik.
Temuan ini terungkap melalui penelitian kualitas udara dan analisis laboratorium yang mendeteksi keberadaan mikroplastik dalam sampel air hujan.
Menurut para pakar, ini bukan anomali biasa. Ia menjadi alarm keras bahwa lingkungan sedang berada pada tingkat tekanan yang jauh lebih berat dari yang disadari masyarakat.
Fenomena hujan mikroplastik menandai bahwa masalah plastik tidak lagi hanya berada di darat atau laut, tetapi kini sudah menyelimuti udara yang dihirup setiap hari.
Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Anwar Daud SKM MKes E CEIA, mengungkapkan bahwa mikroplastik dapat masuk ke atmosfer melalui berbagai jalur yang selama ini tidak disadari.
“Mikroplastik berasal dari pelapukan plastik, terbawa angin, dan naik ke atmosfer. Sumbernya banyak pembakaran sampah, pakaian berbahan sintetis, abrasi ban kendaraan, hingga partikel dari laut yang terangkat oleh angin dan ombak,” jelas Prof Anwar.
Mikroplastik yang naik ke udara ikut masuk dalam proses pembentukan awan. Ketika hujan turun, partikel itu ikut jatuh kembali ke permukaan bumi dan muncullah fenomena hujan mikroplastik.
Meski isu pengurangan plastik terus digaungkan, faktanya penggunaan plastik di masyarakat terus meningkat. Prof Anwar menilai pembatasan plastik hampir mustahil dilakukan.
“Plastik ini barang yang dibenci, tapi juga disukai. Kita sulit hidup tanpa plastik. Dari botol minuman, kaleng makanan, hingga baju yang kita pakai, semuanya mengandung plastik,” tuturnya.
Menurutnya, banyak masyarakat tak menyadari bahwa produk sehari-hari, mulai dari kemasan makanan, kertas minyak, hingga pakaian bekas, juga menjadi sumber mikroplastik.
Disebutnya, sumber mikroplastik terbesar berasal dari pembakaran sampah, yang masih banyak dilakukan masyarakat di perkotaan maupun perdesaan.
Sektor transportasi juga menyumbang besar, terutama dari abrasi ban kendaraan. Kota-kota besar seperti Jakarta, dengan puluhan ribu kendaraan melintas setiap hari, menjadi kawasan yang paling rentan.
Selain itu, TPA yang masih menggunakan sistem open dumping seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang di Makassar juga memperburuk keadaan.
“Open dumping menyebabkan pembakaran sampah spontan, pelepasan partikel plastik, dan pencemaran udara. Ini harus dihilangkan total mulai 2026 sesuai aturan pemerintah,” ungkapnya.
Mikroplastik dapat terhirup oleh manusia. Untuk partikel mikron, tubuh masih mampu menahan di saluran pernapasan bagian atas. Namun untuk ukuran nano, partikel bisa menembus paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah.
“Penelitian di Australia menemukan mikroplastik dalam jaringan paru. Ujung-ujungnya bisa memicu penyakit kronis, bahkan kanker,” tegas Prof Anwar.
Dan untuk mendeteksi mikroplastik dalam tubuh, pemeriksaan dilakukan pada sampel urin, tinja, dan darah. Namun alat pendeteksi nano yang lebih spesifik, yang disebut nanophotometric spectro, belum tersedia di Unhas dan baru dimiliki oleh beberapa negara di Asia Tenggara.
Solusi paling realistis bukan membatasi penggunaan plastik tetapi mengatur pengelolaan sampah sejak dari rumah tangga.
“Plastik sudah melekat dalam kehidupan. Yang bisa dilakukan adalah pengelolaan yang benar dari rumah, pemilahan sampah, dan aturan tegas bagi pelanggar,” sarannya.
Pentingnya penegakan aturan pembakaran sampah, serta percepatan penghapusan sistem open dumping di seluruh Indonesia, tegas Prof Anwar.
(Zulkarnaen Jumar Taufik / Unhas TV)
Ketua Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Anwar Daud SKM MKes E CEIA. (dok unhas.tv)







 MARS PhD-300x168.webp)
