MAKASSAR, UNHAS.TV - Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) menjadi salah satu komoditas yang memiliki potensi ekspor yang besar bagi Indonesia.
Produk-produk seperti getah pinus, minyak atsiri, dan gula aren dinilai mampu memberikan nilai ekonomi tinggi jika dikelola secara berkelanjutan.
HHBK adalah seluruh produk hayati dan non-hayati selain kayu yang dapat diperoleh dari hutan dan dikelola secara berkelanjutan, yang memiliki kualitas untuk menembus pasar global.
Menurut akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Makarennu SHut MSi PhD, produk HHBK Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk memasuki pasar internasional.
Getah pinus, misalnya, banyak digunakan dalam industri kimia, sementara minyak atsiri banyak dimanfaatkan dalam industri kosmetik dan aromaterapi.
Sementara itu, gula aren yang dihasilkan oleh petani lokal kini semakin didorong pengembangannya untuk keperluan ekspor.
Prof. Makarennu juga menekankan beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam memaksimalkan potensi ekspor HHBK, salah satunya adalah rendahnya nilai tambah pada produk yang banyak dihasilkan oleh masyarakat sekitar hutan.
Sebagian besar produk HHBK masih dijual dalam bentuk bahan mentah atau olahan yang sangat dasar, yang tidak memberikan nilai ekonomi yang maksimal.
"Yang pertama itu peningkatan nilai tambah. Banyak produk HHBK masih berupa bahan mentah. Tantangan lainnya adalah regulasi ekspor, karena beberapa buyer luar negeri menginginkan labeling atau sertifikasi.

Prof Makarennu SHut MSi PhD, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas). (dok unhas tv)
"Lalu soal branding produk, dan tentu saja akses pasar yang harus dimiliki oleh petani kita," ungkap Kasubdit Pembelajaran Mandiri/MBKM Unhas ini.
Pentingnya Diversifikasi Produk
Untuk meningkatkan peluang ekspor, Prof. Makarennu menekankan pentingnya dukungan terhadap produk turunan dari HHBK. Banyak komoditas hutan yang bisa didiversifikasi menjadi produk bernilai tinggi dan berdaya saing.
Ia juga menyarankan agar HHBK tidak lagi bergantung pada penjualan bahan mentah saja, tetapi lebih pada produk olahan yang memiliki nilai tambah.
Selain itu, dukungan kelembagaan dan kebijakan pemerintah juga sangat diperlukan untuk memperkuat kesiapan ekspor.
Hal ini mencakup pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk, sertifikasi, serta akses pasar yang lebih luas bagi unit usaha kehutanan masyarakat.
Dengan adanya dukungan ini, produk HHBK diharapkan dapat bersaing di pasar global dan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi masyarakat sekitar hutan.
"Kita perlu meningkatkan nilai tambah produk, tidak hanya mengekspor bahan mentah. Banyak produk kita bisa didiversifikasi. Dukungan pemerintah dan kelembagaan itu sangat strategis untuk meningkatkan peluang ekspor HHBK," jelas Prof. Makarennu.
Pengembangan HHBK dengan meningkatkan nilai tambah, sertifikasi, branding, dan akses pasar menjadi kunci agar komoditas ini mampu bersaing di pasar global.
Dengan dukungan yang tepat, baik dari segi kebijakan maupun kelembagaan, HHBK tidak hanya berpotensi meningkatkan perekonomian Indonesia tetapi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar hutan.
Ke depan, Indonesia dapat memanfaatkan potensi HHBK sebagai salah satu komoditas unggulan yang membawa manfaat ekonomi berkelanjutan.
(Rizka Fraja / Unhas TV)
Gula aren atau gula semut salah satu produk hasil hutan nonkayu yang kini masuk pasar ekspor. (freepick)

-300x200.webp)

-300x149.webp)




