Di masa depan, keputusan bercocok tanam tak lagi hanya mengandalkan insting petani yang membaca tanda-tanda alam. Langit yang mendung atau embusan angin di ladang tetap diperhitungkan, tapi kali ini dengan bantuan kecerdasan buatan.
Adalah Hilmy Baja, peneliti doktoral di Wageningen University & Research (WUR), yang tengah merancang kecerdasan buatan bernama CropGym. Ia bukan sekadar alat digital biasa, melainkan model AI yang bisa meramalkan hasil panen, kualitas tanah, hingga dampak kebijakan lingkungan dalam 50 tahun ke depan.
Hilmy Baja adalah peneliti asal Buton, Sulawesi Tenggara. Dia tumbuh dari keluarga yang mencintai dunia pertanian. Ayahnya, Prof. Sumbangan Baja, adalah Guru Besar Universitas Hasanuddin.
Kecintaan pada dunia pertanian dan dunia riset telah menggerakkannya untuk riset mengenai kecerdasan buatan, yang kelak diharapkan bisa membantu petani.
Pada 7 Maret 2025, Baja akan mempresentasikan inovasi ini dalam Dies Natalis Wageningan University, salah satu universitas terbaik di Belanda, sebelum model AI tersebut diuji di ladang gandum musim dingin di Lituania.
BACA: Prof Sumbangan Baja, Seniman Geo-Spasial di Birokrasi Unhas
Uji coba ini merupakan bagian dari proyek Smart Droplets, program penelitian yang didanai Uni Eropa untuk mencari cara mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida tanpa mengorbankan hasil panen.
Model AI ini sebelumnya telah diuji di Spanyol, meski hasilnya belum diumumkan. Kini, giliran petani Lituania yang akan menggunakannya dalam praktik.
Baja bukan petani. Ia bukan pula ahli agronomi. Latar belakangnya adalah ilmu komputer dan teknik mesin. “Selama studi teknik, saya belajar bagaimana mengendalikan motor. Itu menarik, tapi saya ingin bekerja pada isu yang lebih relevan secara sosial,” ujarnya.
Keinginannya itu mengantarnya ke dunia pertanian, bidang yang masih jarang disentuh teknologi AI secara mendalam. “Petani di seluruh dunia melihat cuaca untuk menentukan kapan menanam atau memupuk. Tapi, mereka jarang menggunakan alat digital,” katanya.
Di Belanda, beberapa teknologi pertanian memang sudah tersedia, tapi hampir tak ada yang dilengkapi kecerdasan buatan.
Di sinilah CropGym berperan. Model AI ini bekerja dengan mengolah data historis cuaca, pertumbuhan tanaman, serta kebiasaan petani dalam mengelola lahannya. Dengan teknik Reinforcement Learning, model ini diajarkan untuk membedakan mana keputusan yang menguntungkan dan mana yang merugikan. Pemakaian pupuk berlebihan, misalnya, akan diberi penalti. Sementara panen yang sehat dan berlimpah akan mendapat “hadiah” dalam bentuk data prediksi yang lebih akurat.
“Petani bisa melihat dampak berbagai skenario—misalnya, apa yang terjadi jika mereka mengurangi pupuk? Bagaimana hasil panen dan kualitas tanahnya? AI bisa membantu mereka memahami konsekuensi jangka panjang,” kata Baja.
Simulasi Hingga 50 Tahun
Model AI ini bukan hanya alat bantu petani, tapi juga perangkat analisis bagi pembuat kebijakan. Dengan simulasi yang bisa merentang hingga 50 tahun ke depan, pemerintah dapat merancang regulasi pertanian yang lebih presisi.
“Misalnya, dengan skenario pemanasan global tertentu, bagaimana cara terbaik menjaga produktivitas pertanian tanpa merusak tanah?” kata Baja. Dengan data yang dikumpulkan dan diproses AI, keputusan yang diambil pun lebih berbasis fakta, bukan sekadar asumsi atau kepentingan politik.
Namun, ada satu tantangan besar: kepercayaan petani terhadap teknologi ini. Baja paham, para petani tidak akan serta-merta mempercayai sistem AI begitu saja. “Model ini bukan bola kristal,” ujarnya. “Tapi ini adalah alat untuk membantu membandingkan pilihan, agar petani bisa mengambil keputusan yang lebih baik.”
Untuk membangun kepercayaan itu, Baja dan timnya kini mengembangkan fitur yang dapat menjelaskan alasan di balik setiap rekomendasi yang diberikan model AI. Dengan begitu, petani tidak hanya tahu kapan harus menanam atau memupuk, tetapi juga mengerti mengapa waktu itu dipilih.
Pada akhirnya, CropGym diharapkan bisa menjadi jembatan antara ilmu pengetahuan dan praktik di lapangan. Teknologi ini bukan sekadar perangkat canggih, tetapi sebuah upaya agar pertanian tetap produktif tanpa merusak lingkungan.
Dan, jika semua berjalan sesuai rencana, mungkin dalam waktu dekat, keputusan para petani tak hanya didasarkan pada naluri dan pengalaman turun-temurun, tetapi juga pada data dan kecerdasan buatan yang mereka percayai.(Yusran Darmawan)
Sumber: https://www.wur.nl/en/newsarticle/ai-in-farming-is-useful-for-looking-ahead-50-years-says-computer-scientist-hilmy-baja.htm