Trending

Riset Membuktikan: Sengatan Lebah, Harapan Baru Melawan Kanker

UNHAS.TV - Pagi di sebuah laboratorium di Lublin, Polandia, sekelompok peneliti meneteskan cairan bening ke kultur sel kanker. Cairan itu bukan obat sintetis, melainkan racun lebah, zat yang selama ribuan tahun dikenal lebih banyak menimbulkan rasa sakit daripada harapan.

Tapi di ruang penuh tabung reaksi itu, racun lebah menjelma kandidat obat masa depan. Hasilnya mencengangkan. Sel-sel kanker yang biasanya tumbuh cepat mendadak kehilangan kendali.

Beberapa mati dengan sendirinya, sebagian berhenti membelah. Seolah sengatan lebah mampu menghentikan pesta liar sel tumor.

"Kami menemukan potensi kuat racun lebah dalam melawan berbagai jenis kanker," tulis Agata Małek bersama Maciej Strzemski, Joanna Kurzepa, dan Jacek Kurzepa, peneliti dari Medical University of Lublin, dalam artikel berjudul Can Bee Venom Be Used as Anticancer Agent in Modern Medicine? yang dimuat di jurnal ilmiah Cancers pada Juli 2023.

Penelitian itu bukan kisah tunggal. Selama satu dekade terakhir, lebih dari seratus studi preklinik melibatkan racun lebah, terutama komponen utamanya bernama melittin.

Peptida berukuran mungil ini terbukti mampu merobek membran sel kanker, mengacaukan jalur sinyal yang memberi makan tumor, bahkan menghalangi terbentuknya pembuluh darah baru yang biasa dipakai kanker untuk menyebar. Hasilnya, kanker payudara, paru-paru, otak, hingga hati di laboratorium menunjukkan kerentanan yang sama: mereka takluk di hadapan sengatan lebah.

Meski begitu, cerita ini belum berakhir di meja operasi manusia. Sampai sekarang, belum ada uji klinis resmi yang membuktikan keamanan dan efektivitas terapi racun lebah pada pasien kanker. Semua bukti masih sebatas kultur sel dan hewan percobaan.

Bahkan, risiko serius mengintai: dalam dosis tinggi, melittin bisa merusak sel darah merah dan memicu reaksi alergi fatal. Tantangan ilmuwan kini adalah bagaimana membawa racun itu langsung ke sel kanker tanpa meracuni tubuh, entah lewat suntikan intratumor, atau membungkusnya dalam nanopartikel agar lebih presisi.

Kisah lama tentang rendahnya angka kanker di kalangan peternak lebah pernah memantik mitos bahwa sengatan lebah adalah pelindung alami. Di beberapa desa di Tiongkok dan Eropa Timur, cerita itu dituturkan turun-temurun: para peternak yang saban hari bersentuhan dengan lebah jarang sekali jatuh sakit parah, apalagi terkena kanker.

Pada 1950-an, sejumlah laporan anekdot mulai muncul, menyebutkan bahwa tingkat kematian akibat kanker di kalangan apiaris (sebutan bagi peternak lebah) lebih rendah dibanding masyarakat umum.

Namun, data epidemiologis itu tak cukup kuat. Studi-studi tersebut sering kali terbatas pada wilayah kecil, tanpa kelompok kontrol yang memadai. Faktor gaya hidup, pola makan, hingga lingkungan kerja bisa saja ikut memengaruhi.

Seorang peternak lebah, misalnya, lebih banyak bekerja di ruang terbuka, terpapar sinar matahari, dan terbiasa mengonsumsi madu serta produk lebah lainnya. Semua itu membuat sulit memastikan apakah racun lebah benar-benar berperan sebagai “tameng” terhadap kanker.

Yang ada barulah potongan-potongan bukti dari laboratorium. Racun lebah terbukti memperlambat pertumbuhan tumor pada tikus percobaan. Dalam studi lain, melittin, komponen utama racun lebah, menghambat penyebaran kanker usus besar dengan cara menekan aktivitas enzim yang biasanya membantu sel kanker menyerang jaringan sehat.


>> Baca Selanjutnya